Oleh : Ashari Thamrin M
Setiap orang ingin sukses, tapi tidak setiap orang dapat meraih sukses. Semua orang dapat merancang kesuksesannya, melaksanakan cetak biru kesuksesannya, namun tidak semua orang dapat meraih kesuksesannya.
Para ilmuwan dan peneliti pun tidak tinggal diam. Mereka berlomba-lomba memberi rumusan dan konsep kesuksesan. Ada yang membawa kunci sukses, ada yang memakai Prinsip Efektif, ada DNA Perilaku, ada Sikap Mental Positif (SMP), dan ada juga yang memakai ESQ. Eeee…, adalagi. Berpikir Positif, Ada juga Berpikir dan Menjadi Kaya. Iyya…, banyak juga buku-buku berpikir lainnya (asal jangan piktor…., hehehe). Orang-orang yang membacanya telah ada yang berhasil. Tapi justru lebih banyak yang gagal.
Begitu banyak orang yang telah bekerja keras dan bekerja cerdas untuk meraih sukses, menerapkan segala macam teori-teori kesuksesan. Membacanya berulang-ulang. Menjadikan buku itu kitab suci. Mempraktekkannya tiap hari. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Namun, sekian lama mereka melakukan itu, mereka akhirnya frustasi, sukses tak kunjung datang.
Ironisnya, beberapa orang yang tidak pernah membaca buku sukses, bekerja ala kadarnya, kepala tetap jadi kepala, kaki tetap jadi kaki, eee...., justru mereka meraih sukses. Mereka berkali-kali naik Haji atas biaya sendiri, bukan dari dana APBD.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa beberapa hal yang tidak tercatat di atas kertas atau cetak biru atau perencanaan, terjadi dalam kenyataan?
Cetak Biru
Euro 2008 lalu diprediksi menjadi milik Portugal. Data statistik kekuatan mereka, menurut pengamat, tiada banding. Cetak biru penobatan Cristiano Ronaldo sebagai pemain besar pun telah disiapkan. Ia dianggap setara dengan Gullit, Van Basten, Michael Platini. Hanya satu syarat yang belum dipenuhi, memberi gelar juara untuk negaranya. Ajang Euro 2008 lalu digadang-gadang sebagai momennya. Apa yang terjadi? Eee..., Portugal keoq dari Jerman di perdelapan final. Kemudian pengamat pun beralih ke Jerman. Eee..., Jerman pun keoq dari Spanyol di Final. Lagi-lagi cetak biru berantakan!!
Lain lagi kisah PNS Pengusaha. Ia mau bikin rumah kost untuk mahasiswa. Cetak biru telah rampung. Pinjaman bank telah cair. Keuntungan sudah direka-reka. Eee..., pembangunan macet. Kos-kosan yang akan menampung 20-an nahasiswa itu kandas di awal realisasi. Efek domino (efek berantai) kenaikan barang dan jasa akibat kenaikan BBM mementahkannya. Biaya semula Rp. 440 juta, tidak cukup. Penawar tender terendah Rp. 650 juta. Selisih Rp. 210 juta.
Bingung, bangunan tidak jadi-jadi, tagihan bank setiap bulan harus dibayar. Rencana awal, pembayaran modal dan bunga bank akan diraup dari pembayaran kost para mahasiswa. Tapi, bagaimana mau meraup untung kalau bangunan saja belum jadi-jadi? Siapa lagi yang mau kasi pinjaman? Apalagi yang harus digadaikan? Cetak biru pun kacau balau!
Untungnya PNS-Pengusaha dapat ide. Ia mengurangi pembangunan kamar kost dari 20 menjadi 12. Ide itu di pungut di pasar tradisional, lantaran melihat tukang becak mau beli terasi 20 bungkus, tapi uangnya hanya cukup untuk 12 bungkus. (hehehe..., ketawa).
Perampok Aqidah
Kejadian-kejadian yang menyalahi prediksi, perencanaan, cetak biru sering bikin pusing siapa saja, termasuk penulis-penulis buku sukses. Faktor Lucky atau keberuntungan adalah bahasa yang paling sering digunakan untuk kejadian-kejadian itu. Orang dibilang beruntung kalau menjuarai turnamen, atau dapat jabatan, atau meraih untung besar, di mana kejadian-kejadian itu nyata-nyata menyalahi perhitungan di atas kertas. Orang dikatakan sial bila terjadi sebaliknya.
Kacamata Prinsip Pareto mengatakan lebih kurang 80% HASIL berasal dari 20% (atau kurang) PENYEBAB. Prinsip ini dikenal dengan Prinsip 80/20. Rumus ini lagi-lagi dicontek oleh Stephen R. Covey dengan mempopulerkan Prinsip 90/10. Prinsip ini mengatakan bahwa 10% dari hidup kita ditentukan oleh apa yang terjadi dan 90% ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi terhadap kejadian-kejadian itu. (Buku : Becoming a Magnet of Luck)
Maksudnya, kita tidak bisa mengontrol 10% dari apa yang terjadi kepada kita. Kita tidak bisa mengontrol kemacetan di jalan raya. Kita tidak bisa mengontrol bila pesawat yang kita tumpangi ternyata delay. Kita juga tidak bisa mengontrol harga minyak dunia yang terus melambung. Tapi 90% sisanya Anda bisa mengendalikannya. Kata Covey, semua bisa dilakukan melalui reaksi atau respon yang Anda pilih. OH YAAAA…???
Sekarang pertanyaannya : siapa yang mengontrol 10 hal yang tidak terkontrol itu, sebagaimana manusia dapat mengontrol yang 90 hal lainnya? Bagaimana pula dengan cerita Portugal, kisah PNS-Pengusaha di atas yang masuk dalam daftar in of control menurut Covey, tapi kenyataannya out of control? Pertanyaan-pertanyaan lain pun –jika dideret-- mungkin akan lebih panjang lagi ketimbang jawaban yang akan diberi Covey.
Harus diakui, bahwa buku-buku sukses memang dapat memberi inspirasi dan kekuatan psikologis tersendiri bagi setiap pembacanya. Buku-buku tersebut mengajarkan beberapa sikap yang benar dan layak untuk dipraktekkan dalam kehidupan keseharian. Sayangnya, muatan buku sukses terkadang bersifat arogan dan menyesatkan. Bahkan banyak yang kebablasan. Kenapa? Kebanyakan buku sukses ‘mempertuhankan’ potensi manusia yang –kata para penulisnya- tidak terbatas. Manusia dapat berbuat apa saja, memilih apa saja, bahkan menentukan apa saja, sesuai kehendaknya.
Dampak lainnya adalah penyesatan. Kebanyakan orang yang telah membaca buku sukses menjadi pribadi-pribadi yang over confidence (kelewat pede), merasa diri lebih layak untuk menjadi apa saja ketimbang orang lain. Merasa diri pantas untuk mencalonkan diri sebagai kepala ini dan kepala itu, padahal kompetensinya masih seujung kuku. Sedikitpun tidak pernah mengevaluasi diri.
Mereka ”mempertuhankan diri”. Menganggap diri paling berjasa. Bahwa tidak terjadi apa-apa kalau bukan karena dirinya. Tidak tercapai apa pun kalau bukan andilnya. Gara-gara dirinya, sehingga orang bisa begini dan bisa begitu. Itulah isi benak mereka. ”Puji ale” adalah sebuah kata dari bahasa kita yang sangat mewakili sikap mempertuhankan diri yang terkutuk itu.
Anda yang memiliki buku-buku sukses, sebelum Anda tersesat dan frustrasi, sebaiknya teliti kembali buku-buku itu dan konfrontasikan dengan aqidah yang diajarkan agama Anda!!
Mirip Qadariyah
Kalau Anda punya waktu membaca paham penafsiran Qadariyah, Anda akan terkejut. Apa yang diajarkan oleh para pakar pengembangan diri dalam berbagai bukunya itu sama dengan yang diajarkan aliran qadariyah dalam Islam. Penafsiran Qadariyah bukannya salah, tapi kurang. Kekurangannya adalah terabaikannya sifat tawaqqal. Sama juga yang diajarkan para pakar pengembangan diri.
Mentang-mentang Allah berkehendak menghapus dan menetapkan (mereview) Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh), para Qadarian menyusun rencana seapik mungkin, mengerjakannya serapi meungkin. Sama sekali tanpa cela. Best Performance!!
Begitu masuk tahap final, apa yang mereka rencanakan dan kerjakan, eee..., hasilnya tidak seperti apa yang mereka inginkan. Mereka frustrasi, stress. Allah di maki-maki, dikambinghitamkan. Mereka menagih Allah, menggugat Allah, karena --menurut mereka-- Allah tidak adil, tidak membalas kebaikan dan pengorbanan mereka. Mereka pun berjanji tidak mau menyembah Allah sebelum mengabulkan cetak birunya. Sama gayanya si Joko Tingkir di Jawa sana.
Begitulah tipikal aliran Qadariyah yang banyak diserap para pakar pengembangan diri dari barat. Mereka tidak sadar, apapun hasil dari sebuah rencana yang matang sekalipun, meski itu berbeda dengan apa yang diharapkan, itulah yang terbaik buat kita. Kalau rencana Anda tidak sesuai harapan, Andalah yang harus mereview cetak biru Anda. Jangan Anda yang mendikte Allah untuk merevisi Lauh Mahfuzh.
Minimnya buku sukses mengajarkan arti tawakkal, menjadi penyebab banyaknya pembaca buku-buku itu frustrasi. Kemana mencari jawaban apabila sukses tidak juga diraih? Apalagi yang harus dilakukan bila semua saran telah lakoni, tapi sukses tidak juga menghampiri?
Hakekatnya, manusia hanya merancang cetak birunya masing-masing, dan berusaha mewujudkan cetak biru dalam kenyataan. Namun Sang Penentu Takdir memiliki cetak biru tersendiri (Lauh Mahfudz). Ia memiliki kehendak tersendiri yang kadang berseberangan dengan kehendak kita. Itu Hak Prerogatif Allah.
Jika kehendak dan cetak biru Anda sesuai dengan kehendak dan cetak biru Penentu Takdir, atau rencana Anda terwujud, itu belum tentu juga Anda beruntung atau sukses. Bisa jadi itu hanyalah suatu ujian yang dapat menggelincirkan. Kalau kehendak kita berseberangan dengan kehendak yang maha penentu, jangan langsung mengkambing hitamkan Allah. Sebab apapun yang terjadi, semua itu adalah ujian. Sukses menggolkan cetak biru adalah ujian. Gagal menggolkan cetak biru, juga sebuah ujian. Semua itu karena “Allah hanya menghendaki Kebaikan kepada hambanya”. (Tafsir Ar-Rad ayat 11, opini Suwer, 30/06/2008).
Makanya, jangan heran jika Anda berupaya sekuat tenaga untuk tidak lagi punya anak, sudah pake berbagai jenis kontrasepsilah, Eee..., tau-tau kondom bocor (hehehe..., ketawa). Percayalah..., Allah menghendaki seorang lagi hadir di planet ini untuk menjadi ujian bagi Anda. Luluskah Anda, atau gagalkah Anda? Tergantung jawaban Anda saat ujian. (berharap aja dapat sms-an, hehehe...., ketawa lagi).
Jadi, apa pun yang terjadi, sukses atau gagal, dapat jabatan atau tidak, juara atau runner up, serta baik atau buruk yang menimpa kita, menang pilkada atau kalah, semua itu ketentuan dari sang Penentu.. Dan semua Takdir (Ketentuan) adalah ujian. Tidak perlu kuatir tentang itu. Tidak perlu mencak-mencak, atau berpikir yang tidak-tidak. Jalani saja apa adanya. Yang penting Anda tetap melakukan perbuatan yang Ma’ruf.
Q.S. Al-Baqarah 216 : ”... boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Pepatah lama mengatakan: ”manusia merencana Tuhan yang menentukan”, rupanya akan terus bertahan hingga akhir zaman. Ia akan terus memangsa korban bagi siapa saja yang mau menepikannya. (Wallahu ’alam bisshawab).
=========
*) Opini Harian Suara Sawerigading, tahun 2008
Tentang Keresahanku
Selasa, 01 Februari 2011
Berda’wah Melalui Tulisan*
Oleh Ashari Thamrin M
Bulan Ramadhan adalah bulan da’wah. Karena itu, semua orang wajib mengajak kepada kebaikan dan kebenaran, dan menyeru meninggalkan kemungkaran. Predikat sebagai subjek da’wah tidak boleh melulu monopoli para ulama dan udztas. Masing-masing kita dapat menjadi objek da’wah, tapi juga dapat menjadi subjek (pelaku) penyampai da’wah. Kalau agamawan berda’wah melalui mimbar, maka guru berda’wah di depan kelas. Pejabat pun dapat berdakwah di kantor atau di lapangan upacara. Musisi tidak boleh kalah. Mereka pun dapat berda’wah melalui lagu dan musik. Lihatlah kelompok Band Ungu yang setiap tahunnya meluncurkan Album Religi.
Bagaimana dengan kalangan intelek? Mereka dapat berda’wah melalui tulisan, misalnya berda’wah melalui buku, atau membuat novel da’wah semacam ayat-ayat cinta. Paling tidak, mereka dapat berda’wah melalui kolom opini yang disediakan di koran-koran.
Para jurnalis (wartawan) dapat berda’wah dengan melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh agama, dan melaporkan hasil wawancara itu melalui koran. Tema wawancara bisa saja mengenai hukum agama, misalnya bagaimana hukum setoran awal calon eksekutif ke parpol, atau pandangan agama atas pengungkapan kriminalitas melalui tulisan (Pelaporan Pers).
Kenapa ini penting? Itu karena saat ini kita berada di zaman edan, dimana kepentingan disembah sebagai “Tuhan” satu-satunya. Zaman di mana orang begitu sibuk mencari jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan, hingga lupa apa masalahnya. Jika masing-masing kita mampu menjadi juru da’wah, insya Allah kondisi itu dapat teratasi.
EFEK TULISAN
Menulis adalah salah satu metode penyampaian da’wah yang efektif. Adakalanya seseorang tidak suka ditegur secara verbal, tapi sangat mengapresiasi setiap pandangan-pandangan melalui tulisan. Menurut Drs. A.S. Haris, perbedaan antara orang beradab dengan orang yang biadab adalah menulis. Alasan Haris, pemisah antara zaman prasejarah dan zaman sejarah adalah tulisan. Karena itu wajib bagi seorang intelek untuk menulis, entah itu menulis buku atau menulis artikel/opini.
Manfaat menulis sangat besar. Menurut Mochtar Lubis, menulis adalah vitamin batin. Kerja otak kanan membuat halus sikap hidup insani. Dan jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab. Selain itu menulis juga bisa menjadi sarana menemukan sesuatu, dapat memunculkan ide baru dan sarana mengungkapkan diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa.
Seorang penulis yang terbiasa menyampaikan pesan-pesan moral atau kritik social, tidaklah berarti penulis tersebut mengklaim diri paling taqwa atau paling bermoral. Sebab konsekuensi menulis hal tersebut, sang penulis siap melaksanakan semua pesan moral yang disampaikannya serta meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dalam istilah agama, Amar ma’ruf Nahi Mungkar. Dan inilah yang disebut oleh Muchtar Lubis sebagai vitamin batin.
Bukti paling konkrit dapat kita lihat pada Grup Band Ungu. Diantara puluhan Grup Band Top di Indonesia, Ungu yang paling bersih dari narkoba dan sex bebas. Kiatnya, mereka konsisten menulis lagu yang bermuatan da’wah. Dengan menulis dan melantunkan pesan moral lewat lagu, grup band ini siap melaksanakan pesan moral yang disampaikannya sekaligus meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dengan begitu, mereka secara otomatis membangun benteng terhadap ekses negative Dunia Gemerlap (Dugem).
Bayangkanlah dampaknya jika semua grup band melakukan hal yang sama. Bayangkan pula jika semua kalangan intelektual, pejabat eksekutif, legislative, atau pun masyarakat biasa masing-masing menjadi subjek da’wah secara lisan atau pun tulisan. Insya Allah Korupsi dan berbagai kekejian dan kemungkaran dapat teratasi.
SEMBELIT
Sangat disayangkan, Luwu Raya yang sarat dengan kalangan Intelek -mulai S1 hingga Professor- justru sepi dengan tulisan-tulisan dari kalangan intelektualnya. 2 buah Koran lokal yang setiap hari beredar di kawasan ini, terkadang mengisi ruang opini mereka dengan hasil mengunduh dari internet. Manakah buah pikiran intelektual lokal kita? Apa mungkin mereka pada sembelit, rakus memakan ilmu tapi tidak pernah mampu “membuang kotoran” ilmunya? Padahal, dalam dunia Intelektual, mereka yang tidak pernah menulis itu sama dengan orang yang sembelit atau susah BAB (buang air besar).
Padahal lagi, aktivitas menulis dapat mengasah dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (Word Smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Orang yang sering menulis akan terasah ketajamannya terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka akan mudah menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga akan mahir memanipulasi sintaksis (struktur/susunan kalimat), juga peka terhadap semantik (pemahaman tentang makna).
Kendala yang dijadikan alasan utama hingga orang tidak menulis.adalah kesulitan menulis karena tidak punya bakat menulis. Saya tidak habis pikir, mengapa ada alasan semacam ini. Ketika Anda menulis skripsi, disertasi atau tesis, kemanakah bakat itu? Solusi efektif untuk masalah ini adalah keberanian untuk menulis. Soal tulisan memenuhi kaedah atau tidak, semua bisa di atur. Apalagi kalau pelaku media mau mewaqafkan sedikit waktunya untuk membimbing calon penulis, misalnya dengan menunjukkan bagian mana dari tulisan seseorang yang harus dilakukan perbaikan. Ketahuilah, bahwa tidak akan ada langkah kedua jika anda tidak memulai langkah pertama.
Kendala lain, banyak juga kalangan intelek kita yang enggan menulis terkait masalah kompensasi (upah). Kendala seperti ini sudah lazim, dan bukan saja terjadi dalam dunia tulis menulis. Dalam dunia da’wah pun tidak sedikit udztas atau ulama yang enggan berda’wah/ceramah atas pertimbangan ini. Bahkan beberapa udztas lainnya pilah-pilih tempat ceramah. Untuk kalangan udztas atau ulama, penulis, calon penulis dan para intelek yang berpikiran seperti ini, pertimbangkanlah firman Allah SWT berikut ini:
1. Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. QS. Shad (86).
2. Upah dari Tuhanmu[1012] adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik. QS. Al-Mu’minun (72).
============
*) Opini Suara Sawerigading 3 Agustus 2008
Bulan Ramadhan adalah bulan da’wah. Karena itu, semua orang wajib mengajak kepada kebaikan dan kebenaran, dan menyeru meninggalkan kemungkaran. Predikat sebagai subjek da’wah tidak boleh melulu monopoli para ulama dan udztas. Masing-masing kita dapat menjadi objek da’wah, tapi juga dapat menjadi subjek (pelaku) penyampai da’wah. Kalau agamawan berda’wah melalui mimbar, maka guru berda’wah di depan kelas. Pejabat pun dapat berdakwah di kantor atau di lapangan upacara. Musisi tidak boleh kalah. Mereka pun dapat berda’wah melalui lagu dan musik. Lihatlah kelompok Band Ungu yang setiap tahunnya meluncurkan Album Religi.
Bagaimana dengan kalangan intelek? Mereka dapat berda’wah melalui tulisan, misalnya berda’wah melalui buku, atau membuat novel da’wah semacam ayat-ayat cinta. Paling tidak, mereka dapat berda’wah melalui kolom opini yang disediakan di koran-koran.
Para jurnalis (wartawan) dapat berda’wah dengan melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh agama, dan melaporkan hasil wawancara itu melalui koran. Tema wawancara bisa saja mengenai hukum agama, misalnya bagaimana hukum setoran awal calon eksekutif ke parpol, atau pandangan agama atas pengungkapan kriminalitas melalui tulisan (Pelaporan Pers).
Kenapa ini penting? Itu karena saat ini kita berada di zaman edan, dimana kepentingan disembah sebagai “Tuhan” satu-satunya. Zaman di mana orang begitu sibuk mencari jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan, hingga lupa apa masalahnya. Jika masing-masing kita mampu menjadi juru da’wah, insya Allah kondisi itu dapat teratasi.
EFEK TULISAN
Menulis adalah salah satu metode penyampaian da’wah yang efektif. Adakalanya seseorang tidak suka ditegur secara verbal, tapi sangat mengapresiasi setiap pandangan-pandangan melalui tulisan. Menurut Drs. A.S. Haris, perbedaan antara orang beradab dengan orang yang biadab adalah menulis. Alasan Haris, pemisah antara zaman prasejarah dan zaman sejarah adalah tulisan. Karena itu wajib bagi seorang intelek untuk menulis, entah itu menulis buku atau menulis artikel/opini.
Manfaat menulis sangat besar. Menurut Mochtar Lubis, menulis adalah vitamin batin. Kerja otak kanan membuat halus sikap hidup insani. Dan jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab. Selain itu menulis juga bisa menjadi sarana menemukan sesuatu, dapat memunculkan ide baru dan sarana mengungkapkan diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa.
Seorang penulis yang terbiasa menyampaikan pesan-pesan moral atau kritik social, tidaklah berarti penulis tersebut mengklaim diri paling taqwa atau paling bermoral. Sebab konsekuensi menulis hal tersebut, sang penulis siap melaksanakan semua pesan moral yang disampaikannya serta meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dalam istilah agama, Amar ma’ruf Nahi Mungkar. Dan inilah yang disebut oleh Muchtar Lubis sebagai vitamin batin.
Bukti paling konkrit dapat kita lihat pada Grup Band Ungu. Diantara puluhan Grup Band Top di Indonesia, Ungu yang paling bersih dari narkoba dan sex bebas. Kiatnya, mereka konsisten menulis lagu yang bermuatan da’wah. Dengan menulis dan melantunkan pesan moral lewat lagu, grup band ini siap melaksanakan pesan moral yang disampaikannya sekaligus meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dengan begitu, mereka secara otomatis membangun benteng terhadap ekses negative Dunia Gemerlap (Dugem).
Bayangkanlah dampaknya jika semua grup band melakukan hal yang sama. Bayangkan pula jika semua kalangan intelektual, pejabat eksekutif, legislative, atau pun masyarakat biasa masing-masing menjadi subjek da’wah secara lisan atau pun tulisan. Insya Allah Korupsi dan berbagai kekejian dan kemungkaran dapat teratasi.
SEMBELIT
Sangat disayangkan, Luwu Raya yang sarat dengan kalangan Intelek -mulai S1 hingga Professor- justru sepi dengan tulisan-tulisan dari kalangan intelektualnya. 2 buah Koran lokal yang setiap hari beredar di kawasan ini, terkadang mengisi ruang opini mereka dengan hasil mengunduh dari internet. Manakah buah pikiran intelektual lokal kita? Apa mungkin mereka pada sembelit, rakus memakan ilmu tapi tidak pernah mampu “membuang kotoran” ilmunya? Padahal, dalam dunia Intelektual, mereka yang tidak pernah menulis itu sama dengan orang yang sembelit atau susah BAB (buang air besar).
Padahal lagi, aktivitas menulis dapat mengasah dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (Word Smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Orang yang sering menulis akan terasah ketajamannya terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka akan mudah menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga akan mahir memanipulasi sintaksis (struktur/susunan kalimat), juga peka terhadap semantik (pemahaman tentang makna).
Kendala yang dijadikan alasan utama hingga orang tidak menulis.adalah kesulitan menulis karena tidak punya bakat menulis. Saya tidak habis pikir, mengapa ada alasan semacam ini. Ketika Anda menulis skripsi, disertasi atau tesis, kemanakah bakat itu? Solusi efektif untuk masalah ini adalah keberanian untuk menulis. Soal tulisan memenuhi kaedah atau tidak, semua bisa di atur. Apalagi kalau pelaku media mau mewaqafkan sedikit waktunya untuk membimbing calon penulis, misalnya dengan menunjukkan bagian mana dari tulisan seseorang yang harus dilakukan perbaikan. Ketahuilah, bahwa tidak akan ada langkah kedua jika anda tidak memulai langkah pertama.
Kendala lain, banyak juga kalangan intelek kita yang enggan menulis terkait masalah kompensasi (upah). Kendala seperti ini sudah lazim, dan bukan saja terjadi dalam dunia tulis menulis. Dalam dunia da’wah pun tidak sedikit udztas atau ulama yang enggan berda’wah/ceramah atas pertimbangan ini. Bahkan beberapa udztas lainnya pilah-pilih tempat ceramah. Untuk kalangan udztas atau ulama, penulis, calon penulis dan para intelek yang berpikiran seperti ini, pertimbangkanlah firman Allah SWT berikut ini:
1. Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. QS. Shad (86).
2. Upah dari Tuhanmu[1012] adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik. QS. Al-Mu’minun (72).
============
*) Opini Suara Sawerigading 3 Agustus 2008
REKONSTRUKSI MAKNA TAQWA-2 (Pendekatan Linguistik)*
Oleh Ashari Thamrin M
Pada pembahasan yang lalu dijelaskan bahwa secara morfologis Taqwa itu berasal dari kata Quwaa yang diasimilasi dengan prefix Ta. Sehingga -secara semantis- makna taqwa yang sejati adalah “menjadi kuat”.
Pemaknaan taqwa dengan (rasa) takut, jelas di luar pembahasan linguistic. Pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa rasa takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Adapun Taqwa yang dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”, juga di luar pembahasan linguistic. Dan kalau pun masuk pembahasan linguistic, berarti masuk dalam pembahasan semantic yang sangat panjang.
Taqwa defenisi Depag
Taqwa Defenisi Departemen Agama dapat kita lihat dalam Al-Qur’an dan terjemahannya sebagaimana berikut ini :
[12]. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. (Penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 2)
[1046]. Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi. (Penjelasan QS. An-Nur:52)
Taqwa Tafsir Ulama
1. Makna Takwa adalah melakukan keta’atan dengan mengharap pahala dari Allah dan menjauhi berbuat maksiat kepada-Nya karena takut jatuh ke dalam siksa Allah.
Takwa artinya melakukan perintah Allah sehingga Dia tidak kehilanganmu kala memerintahkanmu dan menjauhkan larangan-Nya sehingga Dia tidak melihatmu kala melarang-mu. (SUMBER: Manâhij Dawrât al-‘Ulûm asy-Syar’iyyah -Fi`ah an-Nâsyi`ah, Hadîts- karya Prof.Dr.Fâlih bin Muhammad ash-Shagîr, et.ali., h.99-103)
2. TAKWALLOH
Makna takwalloh (takwa kepada Alloh) adalah membuat perisai antara dirinya dengan azab dan murka Alloh, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan perisai yang paling asasi adalah menegakkan tauhidulloh. Perintah untuk bertakwa ditujukan kepada 3 sasaran, yaitu:
1. Ditujukan kepada seluruh manusia, maka takwa di sini maknanya adalah menunaikan tauhid dan membersihkan dari syirik.
2. Ditujukan kepada kaum mukminin, maka takwa di sini maknanya adalah melaksanakan ketaatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh dan meninggalkan kemaksiatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh.
3. Ditujukan kepada seseorang yang sudah bertaqwa, maka perintah takwa di sini maknanya adalah perintah untuk melestarikan ketakwaannya.
Ruang lingkup Takwalloh meliputi seluruh tempat dan waktu, artinya di manapun dan kapan pun berada serta dalam kondisi apapun terkena kewajiban takwalloh. Dengan demikian, sifat takwalloh berbeda-beda sesuai dengan tempat, waktu dan keadaannya. Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id. Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)
Rekonstruksi Terminologi
Hipotesa penulis, ada kemungkinan kalangan ulama/udztas tidak melibatkan ilmu linguistic dalam menafsirkan makna taqwa. Hal ini jelas bermuara pada pemaknaan dan sosialisasi makna Taqwa yang kurang tepat. Dampaknya, sosialisasi yang dilakukan membingungkan atau tidak nyambung.
Tafsir Penulis, orang yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya belum tentu taqwa. Sebaliknya, orang yang taqwa, jelas melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Apa bedanya?
Illustrasinya sebagai berikut. Seorang Muslim mengucapkan Syahadat, melakukan shalat 5 waktu, Puasa, Zakat dan bahkan berhaji. Dia pun tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Tapi semua itu dia lakukan bukan karena Allah, mungkin karena jabatan, takut/malu kepada mertua, atau ikut-ikutan, dan sebagainya. Apa mungkin dia disebut bertaqwa? Jelas tidak, karena dia mengawalinya dengan keimanan yang palsu.
Kronologisnya harus dimulai dengan TAUHID atau keimanan yang haqiqi (sejati), bukan keimanan palsu yang didasarkan pada hal-hal selain Allah SWT. Dan keimanan inilah yang akan dipermak hingga menjadi kuat (Taqwa). Perhatikanlah Dalil berikut ini:
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). (Ali ‘Imran: 146-148)
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Yunus 62-63)
Landasan teori di atas mencerminkan makna taqwa, bahwa Taqwa adalah Keimanan sejati (Tauhid) yang diperkuat, sehingga tak ada lagi peluang bagi seorang yang beriman itu untuk berpikir dan melakukan perbuatan meninggalkan perintah Allah, apalagi berkhianat melakukan larangan-Nya. Taqwa adalah sebuah pohon, dan akarnya adalah keimanan. Adapun mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, bukanlah Taqwa, tapi buah dari Taqwa.
Melakukan rekonstruksi taqwa tanpa memahami makna Taqwa, dapat bermuara pada kebingungan. Makna taqwa yang sejati adalah menguatkan keimanan/kepercayaan kepada Allah SWT. Olehnya itu, untuk merekonstruksi ketaqwaan ummat, selayaknya diawali dengan merekonstruksi Tauhid masing-masing ummat. Kalau kronologisnya dimulai dengan Tauhid, berarti yang harus diperbaiki terlebih dahulu dalam merekonstruksi ketaqwaan kita adalah Syahadat. Itu karena syahadat merupakan titik awal seseorang beriman kepada Allah SWT atau tidak. Mustahil meningkatkan/ menguatkan keimanan (Taqwa) jika iman saja belum beres.
Salah satu upaya untuk menguatkan keimanan (Taqwa) adalah puasa. Puasa yang dijalankan secara baik dan benar -tidak bisa tidak- pasti membawa pelakunya kepada penguatan keimanan, alias Taqwa. Bagaimana itu bisa terjadi? Itu sudah rumus atau constanta atau Hukum Allah.
Lampiran Instrumen Rekonstruksi
Taqwa dalam kategori Kata benda : at-Taqwaa (taqwa/ketaqwaan) (QS.al-Baqarah 97, 237), at_Taubah :108-109. Muttaquwn (orang-orang yang bertaqwa) Qs. Ar-Rad : 35. Taqwa dalam kategori Kata sifat : Atqaa (superlative : paling taqwa) QS.Al-Lail :17, QS. Al_Hujurat:13. Tuqaati (taqwa) QS. Ali imran 102. Taqwa dalam kategori Kata Kerja : Fi’il Madhy : Taqaw (QS.al-Maidah 93, An_Nahal 30), Taqaa (Ali Imran 76), An-Najm 32, A-A’raf: 35. Taqiyya QS. Maryam:13,18, 63. Fi’il Mudhary : Yattaq (sedang bertaqwa. QS. Annur:52), Yattaqu QS. Al-An’am :32, Yattaqi : at-Thalaq 2, 4-5, QS.Yusuf:90, Tattaquw (QS. Al-Anfal 29). TatTaqaetunna : Al-Ahzab 32. Fi’il Amr :
Makna taqwa dalam bentuk Fi’il (Kata Kerja) yakni Fi’il Madhy dan Fi’il Mudhary adalah bertaqwa. Sedangkan dalam bentuk Fi’il Amr adalah bertaqwalah.
==========
Opini Harian Palopo Pos, 2 Agustus 2008
Pada pembahasan yang lalu dijelaskan bahwa secara morfologis Taqwa itu berasal dari kata Quwaa yang diasimilasi dengan prefix Ta. Sehingga -secara semantis- makna taqwa yang sejati adalah “menjadi kuat”.
Pemaknaan taqwa dengan (rasa) takut, jelas di luar pembahasan linguistic. Pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa rasa takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Adapun Taqwa yang dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”, juga di luar pembahasan linguistic. Dan kalau pun masuk pembahasan linguistic, berarti masuk dalam pembahasan semantic yang sangat panjang.
Taqwa defenisi Depag
Taqwa Defenisi Departemen Agama dapat kita lihat dalam Al-Qur’an dan terjemahannya sebagaimana berikut ini :
[12]. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. (Penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 2)
[1046]. Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi. (Penjelasan QS. An-Nur:52)
Taqwa Tafsir Ulama
1. Makna Takwa adalah melakukan keta’atan dengan mengharap pahala dari Allah dan menjauhi berbuat maksiat kepada-Nya karena takut jatuh ke dalam siksa Allah.
Takwa artinya melakukan perintah Allah sehingga Dia tidak kehilanganmu kala memerintahkanmu dan menjauhkan larangan-Nya sehingga Dia tidak melihatmu kala melarang-mu. (SUMBER: Manâhij Dawrât al-‘Ulûm asy-Syar’iyyah -Fi`ah an-Nâsyi`ah, Hadîts- karya Prof.Dr.Fâlih bin Muhammad ash-Shagîr, et.ali., h.99-103)
2. TAKWALLOH
Makna takwalloh (takwa kepada Alloh) adalah membuat perisai antara dirinya dengan azab dan murka Alloh, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan perisai yang paling asasi adalah menegakkan tauhidulloh. Perintah untuk bertakwa ditujukan kepada 3 sasaran, yaitu:
1. Ditujukan kepada seluruh manusia, maka takwa di sini maknanya adalah menunaikan tauhid dan membersihkan dari syirik.
2. Ditujukan kepada kaum mukminin, maka takwa di sini maknanya adalah melaksanakan ketaatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh dan meninggalkan kemaksiatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh.
3. Ditujukan kepada seseorang yang sudah bertaqwa, maka perintah takwa di sini maknanya adalah perintah untuk melestarikan ketakwaannya.
Ruang lingkup Takwalloh meliputi seluruh tempat dan waktu, artinya di manapun dan kapan pun berada serta dalam kondisi apapun terkena kewajiban takwalloh. Dengan demikian, sifat takwalloh berbeda-beda sesuai dengan tempat, waktu dan keadaannya. Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id. Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)
Rekonstruksi Terminologi
Hipotesa penulis, ada kemungkinan kalangan ulama/udztas tidak melibatkan ilmu linguistic dalam menafsirkan makna taqwa. Hal ini jelas bermuara pada pemaknaan dan sosialisasi makna Taqwa yang kurang tepat. Dampaknya, sosialisasi yang dilakukan membingungkan atau tidak nyambung.
Tafsir Penulis, orang yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya belum tentu taqwa. Sebaliknya, orang yang taqwa, jelas melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Apa bedanya?
Illustrasinya sebagai berikut. Seorang Muslim mengucapkan Syahadat, melakukan shalat 5 waktu, Puasa, Zakat dan bahkan berhaji. Dia pun tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Tapi semua itu dia lakukan bukan karena Allah, mungkin karena jabatan, takut/malu kepada mertua, atau ikut-ikutan, dan sebagainya. Apa mungkin dia disebut bertaqwa? Jelas tidak, karena dia mengawalinya dengan keimanan yang palsu.
Kronologisnya harus dimulai dengan TAUHID atau keimanan yang haqiqi (sejati), bukan keimanan palsu yang didasarkan pada hal-hal selain Allah SWT. Dan keimanan inilah yang akan dipermak hingga menjadi kuat (Taqwa). Perhatikanlah Dalil berikut ini:
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). (Ali ‘Imran: 146-148)
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Yunus 62-63)
Landasan teori di atas mencerminkan makna taqwa, bahwa Taqwa adalah Keimanan sejati (Tauhid) yang diperkuat, sehingga tak ada lagi peluang bagi seorang yang beriman itu untuk berpikir dan melakukan perbuatan meninggalkan perintah Allah, apalagi berkhianat melakukan larangan-Nya. Taqwa adalah sebuah pohon, dan akarnya adalah keimanan. Adapun mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, bukanlah Taqwa, tapi buah dari Taqwa.
Melakukan rekonstruksi taqwa tanpa memahami makna Taqwa, dapat bermuara pada kebingungan. Makna taqwa yang sejati adalah menguatkan keimanan/kepercayaan kepada Allah SWT. Olehnya itu, untuk merekonstruksi ketaqwaan ummat, selayaknya diawali dengan merekonstruksi Tauhid masing-masing ummat. Kalau kronologisnya dimulai dengan Tauhid, berarti yang harus diperbaiki terlebih dahulu dalam merekonstruksi ketaqwaan kita adalah Syahadat. Itu karena syahadat merupakan titik awal seseorang beriman kepada Allah SWT atau tidak. Mustahil meningkatkan/ menguatkan keimanan (Taqwa) jika iman saja belum beres.
Salah satu upaya untuk menguatkan keimanan (Taqwa) adalah puasa. Puasa yang dijalankan secara baik dan benar -tidak bisa tidak- pasti membawa pelakunya kepada penguatan keimanan, alias Taqwa. Bagaimana itu bisa terjadi? Itu sudah rumus atau constanta atau Hukum Allah.
Lampiran Instrumen Rekonstruksi
Taqwa dalam kategori Kata benda : at-Taqwaa (taqwa/ketaqwaan) (QS.al-Baqarah 97, 237), at_Taubah :108-109. Muttaquwn (orang-orang yang bertaqwa) Qs. Ar-Rad : 35. Taqwa dalam kategori Kata sifat : Atqaa (superlative : paling taqwa) QS.Al-Lail :17, QS. Al_Hujurat:13. Tuqaati (taqwa) QS. Ali imran 102. Taqwa dalam kategori Kata Kerja : Fi’il Madhy : Taqaw (QS.al-Maidah 93, An_Nahal 30), Taqaa (Ali Imran 76), An-Najm 32, A-A’raf: 35. Taqiyya QS. Maryam:13,18, 63. Fi’il Mudhary : Yattaq (sedang bertaqwa. QS. Annur:52), Yattaqu QS. Al-An’am :32, Yattaqi : at-Thalaq 2, 4-5, QS.Yusuf:90, Tattaquw (QS. Al-Anfal 29). TatTaqaetunna : Al-Ahzab 32. Fi’il Amr :
Makna taqwa dalam bentuk Fi’il (Kata Kerja) yakni Fi’il Madhy dan Fi’il Mudhary adalah bertaqwa. Sedangkan dalam bentuk Fi’il Amr adalah bertaqwalah.
==========
Opini Harian Palopo Pos, 2 Agustus 2008
REKONSTRUKSI MAKNA TAQWA (Pendekatan Linguistik)*
Oleh Ashari Thamrin M
Begitu mudah mengucapkan Taqwa, tapi begitu sulit memahami makna sejatinya. Belum lagi melaksanakannya. Banyak kalangan ulama/udztaz merekomendasikan, bahwa makna Taqwa setara atau sama artinya dengan (rasa) takut. Sebagiannya lagi memaknai taqwa “melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya”.
Banyaknya defenisi dan Intensitas pelafalan tentang Taqwa, jelas akan membingungkan. Konsekuensinya, makna taqwa akan kabur atau bahkan menjadi sekadar pemanis bibir, atau tidak bermakna sama sekali.
Karena itulah, Rekonstruksi makna Taqwa perlu dilakukan, mengingat kata yang satu ini tidak pernah sepi pemakaian. Urusan “Bertaqwa” kepada Tuhan yang Maha Esa menjadi syarat utama bagi seorang pejabat menduduki jabatan. Shalat Jumat tidak sah jika Khatib tidak mengajak untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Dan memasuki bulan Ramadhan, kuantitas pemakaian kata Taqwa semakin menunjukkan intensitasnya. Itu karena tujuan puasa bagi orang-orang beriman yang melaksanakannya, agar dapat mencapai Taqwa.
Jadi Apa makna sejati dari Taqwa? Apa benar Taqwa itu sama artinya dengan takut? Bagaimana pula hingga kata taqwa itu didefenisikan sebagai “melakukan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Apa mungkin makna taqwa itu telah “dipelintir”?. Tulisan berikut ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rekonstruksi Etimologi
Kalau kita masih menghargai bahwa asal-usul kata ini berasal dari bahasa Arab, maka seharusnya huruf Q pada kata Taqwa tidak diganti dengan K, hingga menjadi Takwa. Sebab, dari bahasa aslinya, kata ini memakai huruf Ta-Qaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Dan bukan Ta-Kaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Itu koreksi pertama, dari segi fonologi.
Taqwa, dan bukan Takwa.
Rekonstruksi Morfologi
Sejatinya, kata Taqwa itu bukanlah kata dasar. Tapi ia adalah bentuk turunan dari kata sifat “Quwaa” (Qaf-Waw-Ya) atau “Qawiyyun” yang artinya kuat. Huruf Ya pada kata Quwaa adalah alif Maqsurah -Ya tanpa 2 titik- yang berfungsi sebagai vocal panjang (long vowel).
Kata “Quwaa” (kuat : kata sifat) ini mendapat prefix Ta. Prefix ini sendiri jika diasimilasi (dilebur) dengan kata sifat, membentuk makna “menjadi”. Peleburan prefix Ta (menjadi) dengan kata Quwaa (Kuat), membentuk kata TAQWA. Dengan demikian -secara morfologis- makna kata TAQWA adalah “Menjadi Kuat” atau “menguat-(kan)”, atau “memperkuat” atau “penguatan”. Attabik Ali dalam kamus bahasa Arabnya mencantumkan makna lain : “Menjadi Berani”.
Proses asimilasi yang sama dapat pula dilakukan pada kata-kata sifat yang lain. Contoh kata: “Kabiir” (besar), jika diberi prefix “Ta”, maka berubah menjadi “TAKBIR”. Artinya adalah “menjadi besar” atau “membesar-(kan)”. “Qaliil” (sedikit) + prefix Ta menjadi Taqliil, yang artinya menjadi sedikit atau mereduksi atau pereduksian.
Redefenisi
Jadi benarkah kalau taqwa itu sejajar maknanya dengan takut? Penelusuran makna Taqwa –dari segi linguistic- di atas menggambarkan kata taqwa sangat jauh kekerabatannya dari kata takut. Bahkan samasekali tidak ada kekerabatan. Kata “takut” pada bahasa Arab (dalam Kamus dan dalam al-Qur’an) ada 2, yaitu Khaafa/Khauf dan Khasya.
Dalam al-Qur’an, Takut (Khaafa/Khauf-Yakhaafu) dapat anda temukan pada QS. Al-An’am: 51, dan Takut (Khasya-Yakhsya) pada QS. Annur:52. Perbedaan makna Takwa dan Takut jelas sekali digambarkan pada QS. Luqman:33, juga QS. An-Nur:52.
Pertanyaannya sekarang, kalau taqwa itu berarti “menjadi kuat”, lalu apa yang menjadi kuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mendapatkan bantuan Sintaksis dari teksbook atau naskah. Teksbook atau naskah terbaik untuk tujuan itu adalah Kitab Suci al-Qur’an. 3 buah terjemahan ayat berikut, dapat mengantar pemahaman kita ke arah tersebut.
(QS. Al-Baqarah:177) “……Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah:183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(QS. Al-Hasyr : 18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ada ratusan ayat dalam Al-Qur’an yang berisi seruan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa. Tiga kutipan terjemahan di atas cukup menggambarkan hal tersebut. Apa rasionalisasi semua itu?
Ayat suci al-Qur’an yang memuat kalimat seruan “Hai orang-orang yang beriman”, dan kemudian diikuti dengan seruan “Bertaqwalah”, menjadi fenomena logis yang mengantar pada kesimpulan logis, bahwa kronologi kompetensi rohani –yang berdampak pada kompetensi jasmani/gerak-gerik perilaku- ummat Islam adalah dari beriman menjadi taqwa. Beriman adalah percaya. Sedangkan Taqwa/bertaqwa adalah melakukan aktifitas menguatkan keimanan/kepercayaan. Silahkan Anda buka Al-Qur’an dan simak kembali tiga (terjemahan) ayat di atas.
Pemahaman yang lebih jelas dapat diperoleh Pada QS. Asy-Syu’araa. Pada Surah tersebut terdapat pertanyaan: “Mengapakah kamu tidak bertaqwa”, yang diulang sebanyak 5 kali. Pertanyaan tersebut di dahului dengan kata “mendustakan” yang juga diulang sebanyak 5 kali.
Mendustakan adalah tidak mempercayai atau tidak mengimani. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dikatakan taqwa itu adalah kegiatan penguatan/menguatkan keimanan (kepercayaan), dan melemahkan pendustaan (ketidakpercayaan) atas eksistensi Allah SWT. Dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut diberi gelar orang-orang yang bertaqwa (Muttaqiin).
Lalu kenapa ada kalangan yang memaknai taqwa dengan takut? Jelas, ini diluar pembahasan linguistic. Boleh jadi, pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa (rasa) takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Jadi telah menjalani proses pemaknaan yang panjang, dan proses pemaknaan itu bukan secara linguistic tapi secara psikologis.
Bagaimana pula Kata Taqwa itu sehingga dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Ini pun di luar pembahasan linguistic. Atau, kalau pun masuk pembahasan linguistic, berarti masuk dalam pembahasan semantic yang sangat panjang.
Yang jelas, Orang yang melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya belum tentu taqwa. Tapi sebaliknya, orang yang taqwa sudah jelas melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Apa perbedaannya? Ikuti penjelasannya pada bagian 2 dari tulisan ini.
==============
*) Opini Palopo Pos, 1 Agustus 2008
Begitu mudah mengucapkan Taqwa, tapi begitu sulit memahami makna sejatinya. Belum lagi melaksanakannya. Banyak kalangan ulama/udztaz merekomendasikan, bahwa makna Taqwa setara atau sama artinya dengan (rasa) takut. Sebagiannya lagi memaknai taqwa “melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya”.
Banyaknya defenisi dan Intensitas pelafalan tentang Taqwa, jelas akan membingungkan. Konsekuensinya, makna taqwa akan kabur atau bahkan menjadi sekadar pemanis bibir, atau tidak bermakna sama sekali.
Karena itulah, Rekonstruksi makna Taqwa perlu dilakukan, mengingat kata yang satu ini tidak pernah sepi pemakaian. Urusan “Bertaqwa” kepada Tuhan yang Maha Esa menjadi syarat utama bagi seorang pejabat menduduki jabatan. Shalat Jumat tidak sah jika Khatib tidak mengajak untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Dan memasuki bulan Ramadhan, kuantitas pemakaian kata Taqwa semakin menunjukkan intensitasnya. Itu karena tujuan puasa bagi orang-orang beriman yang melaksanakannya, agar dapat mencapai Taqwa.
Jadi Apa makna sejati dari Taqwa? Apa benar Taqwa itu sama artinya dengan takut? Bagaimana pula hingga kata taqwa itu didefenisikan sebagai “melakukan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Apa mungkin makna taqwa itu telah “dipelintir”?. Tulisan berikut ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rekonstruksi Etimologi
Kalau kita masih menghargai bahwa asal-usul kata ini berasal dari bahasa Arab, maka seharusnya huruf Q pada kata Taqwa tidak diganti dengan K, hingga menjadi Takwa. Sebab, dari bahasa aslinya, kata ini memakai huruf Ta-Qaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Dan bukan Ta-Kaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Itu koreksi pertama, dari segi fonologi.
Taqwa, dan bukan Takwa.
Rekonstruksi Morfologi
Sejatinya, kata Taqwa itu bukanlah kata dasar. Tapi ia adalah bentuk turunan dari kata sifat “Quwaa” (Qaf-Waw-Ya) atau “Qawiyyun” yang artinya kuat. Huruf Ya pada kata Quwaa adalah alif Maqsurah -Ya tanpa 2 titik- yang berfungsi sebagai vocal panjang (long vowel).
Kata “Quwaa” (kuat : kata sifat) ini mendapat prefix Ta. Prefix ini sendiri jika diasimilasi (dilebur) dengan kata sifat, membentuk makna “menjadi”. Peleburan prefix Ta (menjadi) dengan kata Quwaa (Kuat), membentuk kata TAQWA. Dengan demikian -secara morfologis- makna kata TAQWA adalah “Menjadi Kuat” atau “menguat-(kan)”, atau “memperkuat” atau “penguatan”. Attabik Ali dalam kamus bahasa Arabnya mencantumkan makna lain : “Menjadi Berani”.
Proses asimilasi yang sama dapat pula dilakukan pada kata-kata sifat yang lain. Contoh kata: “Kabiir” (besar), jika diberi prefix “Ta”, maka berubah menjadi “TAKBIR”. Artinya adalah “menjadi besar” atau “membesar-(kan)”. “Qaliil” (sedikit) + prefix Ta menjadi Taqliil, yang artinya menjadi sedikit atau mereduksi atau pereduksian.
Redefenisi
Jadi benarkah kalau taqwa itu sejajar maknanya dengan takut? Penelusuran makna Taqwa –dari segi linguistic- di atas menggambarkan kata taqwa sangat jauh kekerabatannya dari kata takut. Bahkan samasekali tidak ada kekerabatan. Kata “takut” pada bahasa Arab (dalam Kamus dan dalam al-Qur’an) ada 2, yaitu Khaafa/Khauf dan Khasya.
Dalam al-Qur’an, Takut (Khaafa/Khauf-Yakhaafu) dapat anda temukan pada QS. Al-An’am: 51, dan Takut (Khasya-Yakhsya) pada QS. Annur:52. Perbedaan makna Takwa dan Takut jelas sekali digambarkan pada QS. Luqman:33, juga QS. An-Nur:52.
Pertanyaannya sekarang, kalau taqwa itu berarti “menjadi kuat”, lalu apa yang menjadi kuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mendapatkan bantuan Sintaksis dari teksbook atau naskah. Teksbook atau naskah terbaik untuk tujuan itu adalah Kitab Suci al-Qur’an. 3 buah terjemahan ayat berikut, dapat mengantar pemahaman kita ke arah tersebut.
(QS. Al-Baqarah:177) “……Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah:183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(QS. Al-Hasyr : 18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ada ratusan ayat dalam Al-Qur’an yang berisi seruan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa. Tiga kutipan terjemahan di atas cukup menggambarkan hal tersebut. Apa rasionalisasi semua itu?
Ayat suci al-Qur’an yang memuat kalimat seruan “Hai orang-orang yang beriman”, dan kemudian diikuti dengan seruan “Bertaqwalah”, menjadi fenomena logis yang mengantar pada kesimpulan logis, bahwa kronologi kompetensi rohani –yang berdampak pada kompetensi jasmani/gerak-gerik perilaku- ummat Islam adalah dari beriman menjadi taqwa. Beriman adalah percaya. Sedangkan Taqwa/bertaqwa adalah melakukan aktifitas menguatkan keimanan/kepercayaan. Silahkan Anda buka Al-Qur’an dan simak kembali tiga (terjemahan) ayat di atas.
Pemahaman yang lebih jelas dapat diperoleh Pada QS. Asy-Syu’araa. Pada Surah tersebut terdapat pertanyaan: “Mengapakah kamu tidak bertaqwa”, yang diulang sebanyak 5 kali. Pertanyaan tersebut di dahului dengan kata “mendustakan” yang juga diulang sebanyak 5 kali.
Mendustakan adalah tidak mempercayai atau tidak mengimani. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dikatakan taqwa itu adalah kegiatan penguatan/menguatkan keimanan (kepercayaan), dan melemahkan pendustaan (ketidakpercayaan) atas eksistensi Allah SWT. Dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut diberi gelar orang-orang yang bertaqwa (Muttaqiin).
Lalu kenapa ada kalangan yang memaknai taqwa dengan takut? Jelas, ini diluar pembahasan linguistic. Boleh jadi, pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa (rasa) takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Jadi telah menjalani proses pemaknaan yang panjang, dan proses pemaknaan itu bukan secara linguistic tapi secara psikologis.
Bagaimana pula Kata Taqwa itu sehingga dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Ini pun di luar pembahasan linguistic. Atau, kalau pun masuk pembahasan linguistic, berarti masuk dalam pembahasan semantic yang sangat panjang.
Yang jelas, Orang yang melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya belum tentu taqwa. Tapi sebaliknya, orang yang taqwa sudah jelas melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Apa perbedaannya? Ikuti penjelasannya pada bagian 2 dari tulisan ini.
==============
*) Opini Palopo Pos, 1 Agustus 2008
LOGIKA PUASA MEMBAWA TAQWA *
Oleh Ashari Thamrin M
Dalam Surah Al-Baqarah (183) Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa”.
Kata dasar Taqwa adalah Quwaa, yang artinya kuat. yang diberi prefix Ta yang artinya menjadi, sehingga makna Taqwa itu adalah menjadi kuat. Boleh jadi anda tertawa terbahak-bahak setelah memahami makna Taqwa ini, berbanding taqwa sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam berpuasa. Jelas ironi, mengingat puasa itu menahan diri dari makan dan minum selama 13 jam. Bagaimana mungkin “menjadi kuat” (taqwa) dalam kondisi demikian?
Mahluk Evolusi
Sejatinya, manusia adalah makhluk rohani yang terjebak dalam raga hewani. Dari sisi rohani manusia satu spesies dengan malaikat dan jin. Namun dari sisi ragawi, boleh jadi manusia memang keturunan kera Cro-Magnon, hasil evolusi dari Pithecantropus. Inilah keunikan manusia dibanding mahluk hidup lainnya. Manusia memiliki kebutuhan biologis (jasmani) sebagaimana hewan, sekaligus memiliki kebutuhan psikologis (rohani) yang masing-masing harus dipenuhi.
Jelas Anda keliru jika menganggap yang ingin “dijadikan kuat” dalam berpuasa itu sisi biologis/jasmani/ragawi/hewani dari manusia. Porsi penguatan jasmani telah dilakukan selama sebelas bulan. Selama itu pula, jasmani menekan dan mendominasi rohani hingga kadang tidak terpenuhi kebutuhannya, dan menjadi lemah serta kurus kerontang.
Kini giliran sisi rohani mendapatkan kebutuhannya. Dengan menahan haus dan lapar mulai jam setengah lima subuh hingga jam enam sore, dikali 29 atau 30 hari secara berturut-turut, kita menekan dominasi jasmani untuk memberi ruang gerak pada rohani memenuhi kebutuhannya. Tapi bukankah ini sebuah penyiksaan?
Tidak salah jika Anda berasumsi bahwa puasa itu sebuah penyiksaan. Secara pribadi, saya justru kurang sependapat jika ada kalangan yang ingin mengaburkan puasa sebagai suatu penyiksaan. Kita semua tidak dapat menyangkali hal itu! Makanya, banyak diantara kita mencari berbagai cara agar dalam melaksanakan puasa tidak begitu merasakan siksaan lapar dan dahaga tersebut. Ada yang mengubah pola makan dengan cara memenuhi perut sampai benar-benar buncit, minum tablet untuk vitalitas dan daya tahan tubuh, hingga minum obat tidur dari imzak hingga berbuka puasa.
Okelah. Kita tidak bisa menyangkal bahwa puasa adalah penyiksaan. Lalu apa rasionalisasi di balik penyiksaan itu? Itulah yang membuktikan, betapa sayangnya mahluk yang bernama manusia itu akan hal-hal yang materil, kasat mata, jasmaniah, atau ragawi. Hal-hal yang justru akan hancur lebur, seiring bergulirnya waktu. Kebanyakan kita tidak menyayangi hal-hal yang immaterial, atau rohani kita. Hal yang tak lekang ditelan waktu, tak hancur dibakar api.
Hanya sedikit dari kita yang benar-benar rela merasakan siksaaan lapar dan dahaga. Padahal, justru dengan merasakan siksaan puasa itulah hikmah (rasionalisasi) puasa yang sejati dapat dipahami. Puasa memang sebuah penyiksaan, tapi bukan penyiksaan sejati. Ini hanyalah sebuah proyeksi dengan “zoom 1%” dari penyiksaan sejati yang telah menanti setiap anak manusia di pintu kubur, bila ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Penghuni Kubur
Sayang sekali, dari sekian milyar anak manusia yang pernah hidup di muka bumi dan kini telah mati, tak seorang pun di antara mereka kembali kepada kita bercerita tentang apa yang mereka alami di alam sana. Sungguh, kita penasaran.
Kita semua sangat merindukan mereka, terutama orang-orang yang kita kasihi, yang kini tubuhnya telah hancur berbaur dengan tanah. Mereka semua tak pernah kembali, entah mereka betah di alam sana atau tidak.
Kita ingin tahu, cukupkah persediaan makanan dan minuman mereka di alam sana? Adakah warung, kedai, cafe atau restaurant yang dapat disinggahi untuk melepas lapar dan dahaga di alam sana? Demikian pula Kita ingin mengatakan kepada mereka, kita semua umat muslim di dunia saat ini sedang berpuasa. Kita semua punya cukup persediaan makanan dan minuman, tapi kita rela tersiksa menahan lapar dan haus demi mencapai Taqwa (Kekuatan Iman).
Kita rela, karena kita sangat takut. Dalam hati kecil, lebih baik menahan lapar dan haus di dunia ini 30 hari di setiap tahun sepanjang umur kita, ketimbang nanti di alam sana, saat kita menyusul, kita menanggung lapar dan dahaga sepanjang masa kematian kita yang lebih panjang daripada masa hidup kita. Astagfirullah…!!
Kita pun penasaran dengan keadaan Adolf Hitler di alam sana. Ia yang hidup 56 tahun (1889-1945) telah memasuki usia kematian selama 63 tahun, sudah lebih lama daripada masa hidupnya. Kita penasaran dengan keadaan penjagal 35 juta ummat manusia dalam Perang Dunia II itu, sama penasarannya kita dengan keadaan Namrud, Fir’aun dan semua Kriminal beken sepanjang sejarah. Kita juga penasaran dengan keadaan para pemimpin kita di alam sana. Soeharto, Soekarno dan lain-lain. Kelihatannya, mereka semua itu betah berada di alam sana?
Efek Jera
Pernah Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, "Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain." (HR. Ath-Thabrani)
Nabi pun pernah berkata, “Robbku (Tuhanku) menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Ia pun pernah berkata :”Orang yang paling kenyang makan di dunia akan menjadi paling lama lapar pada hari kiamat. (HR. Al Hakim). Naudzubillah….!!
Sebuah kisah tentang seorang Raja. Ia tersesat di Padang Pasir selama sehari semalam dalam kondisi cuaca yang amat panas. Selama itu Ia tidak makan dan tidak minum. Dalam hati ia berjanji, akan memberi seperdua kerajaannya kepada siapapun yang dapat memberinya segelas air. Lewatlah seorang musafir. Tapi sang musafir juga hanya memiliki segelas air untuk dirinya sendiri. Raja pun bernego, Ia akan memberikan seluruh kerajaannya jika ia mau memberi segelas air. Musafir ngotot, untuk apa kerajaan itu kalau ia pun terancam mati kehausan. Tapi sang Raja betul-betul butuh air tersebut untuk menyelamatkan hidupnya. Ia pun menawar kembali air tersebut setengah gelas dibarter dengan seluruh kerajaannya. Akhirnya, kesepakatan tercapai, dan Anda sudah dapat menebak akhir ceritanya. Sang Musafir jadi Raja, hanya lantaran setengah gelas air.
Menahan siksaan Puasa dapat menimbulkan efek jera (Taubat), yaitu rasa sesal yang tiada tara dan rasa takut yang sangat mengerikan, berbaur dengan ketergantungan dan pengharapan yang setinggi-tingginya agar mendapatkan pertolongan. Kondisi Rohani seperti itu hanya dapat timbul jika kita merelakan diri kita didera oleh lapar dan dahaga. Bayangkanlah, bagaimana jadinya jika kondisi lemah itu mendera Anda di suatu tempat yang asing. Tempat di mana hanya ada seorang yang memiliki makanan dan minuman. Tempat yang hanya kepada orang tersebut kita mengharap pertolongan. Seperti itulah kondisi di alam sana (Alam Kubur dan Padang Mahsyar). Tempat di mana hanya Allah yang mampu memberi pertolongan.
Karena itu, relakanlah lapar dan dahaga mendera dan menyiksa Anda selama 30 hari ini, agar tercapai tujuan Puasa pada diri Anda, yakni menjadi kuat iman Anda (Taqwa) hanya kepada Allah SWT. Amin, ya Rabbal Alamiin!
=============
*) Opini Suara Sawerigading September 2008
Dalam Surah Al-Baqarah (183) Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa”.
Kata dasar Taqwa adalah Quwaa, yang artinya kuat. yang diberi prefix Ta yang artinya menjadi, sehingga makna Taqwa itu adalah menjadi kuat. Boleh jadi anda tertawa terbahak-bahak setelah memahami makna Taqwa ini, berbanding taqwa sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam berpuasa. Jelas ironi, mengingat puasa itu menahan diri dari makan dan minum selama 13 jam. Bagaimana mungkin “menjadi kuat” (taqwa) dalam kondisi demikian?
Mahluk Evolusi
Sejatinya, manusia adalah makhluk rohani yang terjebak dalam raga hewani. Dari sisi rohani manusia satu spesies dengan malaikat dan jin. Namun dari sisi ragawi, boleh jadi manusia memang keturunan kera Cro-Magnon, hasil evolusi dari Pithecantropus. Inilah keunikan manusia dibanding mahluk hidup lainnya. Manusia memiliki kebutuhan biologis (jasmani) sebagaimana hewan, sekaligus memiliki kebutuhan psikologis (rohani) yang masing-masing harus dipenuhi.
Jelas Anda keliru jika menganggap yang ingin “dijadikan kuat” dalam berpuasa itu sisi biologis/jasmani/ragawi/hewani dari manusia. Porsi penguatan jasmani telah dilakukan selama sebelas bulan. Selama itu pula, jasmani menekan dan mendominasi rohani hingga kadang tidak terpenuhi kebutuhannya, dan menjadi lemah serta kurus kerontang.
Kini giliran sisi rohani mendapatkan kebutuhannya. Dengan menahan haus dan lapar mulai jam setengah lima subuh hingga jam enam sore, dikali 29 atau 30 hari secara berturut-turut, kita menekan dominasi jasmani untuk memberi ruang gerak pada rohani memenuhi kebutuhannya. Tapi bukankah ini sebuah penyiksaan?
Tidak salah jika Anda berasumsi bahwa puasa itu sebuah penyiksaan. Secara pribadi, saya justru kurang sependapat jika ada kalangan yang ingin mengaburkan puasa sebagai suatu penyiksaan. Kita semua tidak dapat menyangkali hal itu! Makanya, banyak diantara kita mencari berbagai cara agar dalam melaksanakan puasa tidak begitu merasakan siksaan lapar dan dahaga tersebut. Ada yang mengubah pola makan dengan cara memenuhi perut sampai benar-benar buncit, minum tablet untuk vitalitas dan daya tahan tubuh, hingga minum obat tidur dari imzak hingga berbuka puasa.
Okelah. Kita tidak bisa menyangkal bahwa puasa adalah penyiksaan. Lalu apa rasionalisasi di balik penyiksaan itu? Itulah yang membuktikan, betapa sayangnya mahluk yang bernama manusia itu akan hal-hal yang materil, kasat mata, jasmaniah, atau ragawi. Hal-hal yang justru akan hancur lebur, seiring bergulirnya waktu. Kebanyakan kita tidak menyayangi hal-hal yang immaterial, atau rohani kita. Hal yang tak lekang ditelan waktu, tak hancur dibakar api.
Hanya sedikit dari kita yang benar-benar rela merasakan siksaaan lapar dan dahaga. Padahal, justru dengan merasakan siksaan puasa itulah hikmah (rasionalisasi) puasa yang sejati dapat dipahami. Puasa memang sebuah penyiksaan, tapi bukan penyiksaan sejati. Ini hanyalah sebuah proyeksi dengan “zoom 1%” dari penyiksaan sejati yang telah menanti setiap anak manusia di pintu kubur, bila ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Penghuni Kubur
Sayang sekali, dari sekian milyar anak manusia yang pernah hidup di muka bumi dan kini telah mati, tak seorang pun di antara mereka kembali kepada kita bercerita tentang apa yang mereka alami di alam sana. Sungguh, kita penasaran.
Kita semua sangat merindukan mereka, terutama orang-orang yang kita kasihi, yang kini tubuhnya telah hancur berbaur dengan tanah. Mereka semua tak pernah kembali, entah mereka betah di alam sana atau tidak.
Kita ingin tahu, cukupkah persediaan makanan dan minuman mereka di alam sana? Adakah warung, kedai, cafe atau restaurant yang dapat disinggahi untuk melepas lapar dan dahaga di alam sana? Demikian pula Kita ingin mengatakan kepada mereka, kita semua umat muslim di dunia saat ini sedang berpuasa. Kita semua punya cukup persediaan makanan dan minuman, tapi kita rela tersiksa menahan lapar dan haus demi mencapai Taqwa (Kekuatan Iman).
Kita rela, karena kita sangat takut. Dalam hati kecil, lebih baik menahan lapar dan haus di dunia ini 30 hari di setiap tahun sepanjang umur kita, ketimbang nanti di alam sana, saat kita menyusul, kita menanggung lapar dan dahaga sepanjang masa kematian kita yang lebih panjang daripada masa hidup kita. Astagfirullah…!!
Kita pun penasaran dengan keadaan Adolf Hitler di alam sana. Ia yang hidup 56 tahun (1889-1945) telah memasuki usia kematian selama 63 tahun, sudah lebih lama daripada masa hidupnya. Kita penasaran dengan keadaan penjagal 35 juta ummat manusia dalam Perang Dunia II itu, sama penasarannya kita dengan keadaan Namrud, Fir’aun dan semua Kriminal beken sepanjang sejarah. Kita juga penasaran dengan keadaan para pemimpin kita di alam sana. Soeharto, Soekarno dan lain-lain. Kelihatannya, mereka semua itu betah berada di alam sana?
Efek Jera
Pernah Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, "Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain." (HR. Ath-Thabrani)
Nabi pun pernah berkata, “Robbku (Tuhanku) menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Ia pun pernah berkata :”Orang yang paling kenyang makan di dunia akan menjadi paling lama lapar pada hari kiamat. (HR. Al Hakim). Naudzubillah….!!
Sebuah kisah tentang seorang Raja. Ia tersesat di Padang Pasir selama sehari semalam dalam kondisi cuaca yang amat panas. Selama itu Ia tidak makan dan tidak minum. Dalam hati ia berjanji, akan memberi seperdua kerajaannya kepada siapapun yang dapat memberinya segelas air. Lewatlah seorang musafir. Tapi sang musafir juga hanya memiliki segelas air untuk dirinya sendiri. Raja pun bernego, Ia akan memberikan seluruh kerajaannya jika ia mau memberi segelas air. Musafir ngotot, untuk apa kerajaan itu kalau ia pun terancam mati kehausan. Tapi sang Raja betul-betul butuh air tersebut untuk menyelamatkan hidupnya. Ia pun menawar kembali air tersebut setengah gelas dibarter dengan seluruh kerajaannya. Akhirnya, kesepakatan tercapai, dan Anda sudah dapat menebak akhir ceritanya. Sang Musafir jadi Raja, hanya lantaran setengah gelas air.
Menahan siksaan Puasa dapat menimbulkan efek jera (Taubat), yaitu rasa sesal yang tiada tara dan rasa takut yang sangat mengerikan, berbaur dengan ketergantungan dan pengharapan yang setinggi-tingginya agar mendapatkan pertolongan. Kondisi Rohani seperti itu hanya dapat timbul jika kita merelakan diri kita didera oleh lapar dan dahaga. Bayangkanlah, bagaimana jadinya jika kondisi lemah itu mendera Anda di suatu tempat yang asing. Tempat di mana hanya ada seorang yang memiliki makanan dan minuman. Tempat yang hanya kepada orang tersebut kita mengharap pertolongan. Seperti itulah kondisi di alam sana (Alam Kubur dan Padang Mahsyar). Tempat di mana hanya Allah yang mampu memberi pertolongan.
Karena itu, relakanlah lapar dan dahaga mendera dan menyiksa Anda selama 30 hari ini, agar tercapai tujuan Puasa pada diri Anda, yakni menjadi kuat iman Anda (Taqwa) hanya kepada Allah SWT. Amin, ya Rabbal Alamiin!
=============
*) Opini Suara Sawerigading September 2008
MENDETEKSI KOMPETENSI GURU MELALUI UJIAN NASIONAL*
Oleh : Ashari Thamrin M
Ujian Nasional (UN) adalah salah satu bentuk evaluasi dari sekian banyak bentuk-bentuk evaluasi lainnya. Evaluasi itu sendiri mencakup makna pengukuran dan penilaian. Evaluasi tidak sekedar berfungsi untuk mengetahui kemampuan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok, tetapi evaluasi bertujuan melakukan penilaian total terhadap pelaksanaan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan (Arikunto, 2001:3). Karena itu, kelulusan sejumlah siswa dalam UN adalah keberhasilan semua unsur terkait (stake holders). Sebaliknya, kegagalan sejumlah siswa dalam UN adalah kegagalan semua unsur terkait.
Untuk itulah UN diselenggarakan. UN merupakan bentuk evaluasi yang memiliki sejumlah sasaran penting. Selain untuk menentukan kelulusan siswa, juga untuk mengukur kompetensi guru serta tolok ukur untuk menilai mutu sebuah sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Dari sejumlah sasaran itu, Standar Mutu Pendidikan Nasional pun juga ikut terukur.
Monitoring Kompetensi Guru
Jika selama ini titik berat pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan UN hanya menyorot tajam tingkat kelulusan siswa, kali ini pandangan bisa juga dialihkan untuk monitoring dan mendeteksi kompetensi guru. Mengapa kompetensi guru harus dideteksi? Alasannya adalah karena negara telah memberi intensif berupa tunjangan sertifikasi kepada sejumlah guru yang dianggap profesional melalui uji kompetensi. Negara memberi intensif seperti itu, tentu mengharapkan timbal balik yang setara dari guru-guru yang telah diberi intensif. Apa gunanya negara memberi tunjangan jika ternyata guru-guru tidak mampu menunjukkan kompetensinya? Semoga para guru yang telah mendapat tunjangan menyadari hal ini.
Cara sederhana untuk menentukan tingkat kompetensi guru sebagai agen pembelajaran adalah menggunakan metode ”voting” 50 plus 1 dan 50 minus 1. Misalnya UN Bahasa Inggris. Jika tingkat kelulusan peserta ujian untuk Mata pelajaran bahasa Inggris sebanyak 50% plus satu, berarti guru bahasa Inggris yang mengajar komunitas siswa tersebut dapat dinyatakan kompeten. Artinya, guru yang bersangkutan telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran dan dibebaskan dari tudingan sebagai biang kegagalan. Adapun sejumlah siswa yang tidak lulus harus mengkoreksi diri sendiri bahwa sejatinya merekalah yang gagal.
Sebaliknya, jika hasil kelulusan untuk Bahasa Inggris adalah 50% minus satu, berarti guru yag mengajar komunitas siswa tersebut belum dapat dikatakan kompeten. Konsekuensinya, guru bersangkutan harus mengakui diri bahwa dia tidak kompeten dan harus rela turun peringkat mengajar di kelas yang lebih rendah. Sekolah dan komite sekolah boleh merundingkan sikap yang akan diberlakukan terhadap guru yang bersangkutan.
Dengan bahasa sederhana, jika hanya 1 atau 2 orang saja dari sekian ribu siswa peserta ujian yang tidak lulus, maka orang tua siswa harus tahu malu untuk menuding guru sebagai biang kegagalan. Sebaliknya, jika hanya 1 atau 2 orang saja siswa yang lulus diantara ribuan peserta ujian, maka guru harus tahu malu. Kalau perlu, sembunyikan muka kalian. Mintalah ke Dinas Pendidikan agar diberi mutasi ke sebuah sekolah di daerah pedalaman.
Sayangnya, UN hanya dapat menjadi alat deteksi untuk guru-guru pada kelas 6 SD kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA/SMK. Itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran tertentu yang di UN-kan ditambah 3 buah lagi Mata Pelajaran untuk Ujian Sekolah (US)-kan. Padahal masih lebih banyak guru-guru yang telah mendapat tunjangan, tidak mengajar di kelas yang siswanya mengikuti ujian. Mereka semua juga perlu dideteksi sejauh mana kompetensi mereka.
Karena itu, program setiap sekolah ke depan, sebaiknya memberi prioritas kepada guru-guru senior yang telah mendapat tunjangan sertifikasi, untuk mengajar di kelas 3 SMP/SMA pada 6 Mata Pelajaran yang diujikan itu. Ini untuk menunjukkan pada dunia seberapa besar tingkat kompetensi guru-guru tersebut. It’s show time for the teachers. Buktikanlah, bahwa Anda para guru senior, memang pantas disebut kompeten dan layak mendapat tunjangan. Jangan sampai negara membayar tunjangan kepada para guru senior, namun ternyata kompetensi mereka minor.
Indikasi Kecurangan, Perketat Pengawasan
Menyadari pentingnya sasaran pelaksanaan UN dan US, maka pelaksanaannya pun harus terselenggara dengan baik. Pengawasan pelaksanaannya pun perlu diperketat, karena selama ini disinyalir terdapat indikasi praktek-praktek kecurangan dalam UN dan US oleh sekolah dan guru di setiap pelaksanaannya.
Demi mendapat penilaian sebagai sekolah bermutu dan demi membuktikan diri sebagai guru yang kompeten, tidak jarang pihak sekolah beserta gurunya mengambil jalan pintas dengan memberi bantuan kepada para peserta ujian. Bentuk bantuan itu dapat berupa pemberian jawaban kepada peserta ujian saat ujian berlangsung, atau juga dengan mengoreksi jawaban para siswa sesaat setelah ujian selesai. Praktek kecurangan semacam ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan nasional kita.
Sadar atau tidak, siapapun yang melakukan praktek semacam ini, berarti telah menodai dunia pendidikan kita. Bagaimana bisa mengukur standar pendidikan nasional, menilai mutu sejati sebuah sekolah, mengukur kompetensi sejati seorang guru, serta menentukan kelulusan murni tiap-tiap siswa, jika yang menjawab soal-soal ujian ternyata para guru?
Kecurangan sekolah dan guru saat UN dan US adalah pengkhianatan terhadap amanah UUD 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga melanggar kompetensi kepribadian guru itu sendiri sebagai pribadi yang pantas untuk diteladani. Pantaskah seorang guru dijadikan teladan jika kerap melakukan kecurangan? Tentu saja tidak!
Menentukan Biang Kegagalan
Saat penentuan Ujian Akhir, saling tuding dan lempar kesalahan atas sejumlah siswa yang tidak lulus, telah menjadi pemandangan umum tahunan di semua tempat di seluruh Indonesia. Guru menuding, bahwa siswalah yang bodoh. Sebaliknya, siswa dan orang tua menuding bahwa gurulah yang tidak becus. Kenapa ini bisa terjadi? Siapakah sejatinya yang salah jika siswa tidak lulus ujian?
Saling lempar kesalahan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Hal seperti ini terjadi karena selama ini kita tidak menjalankan fungsi evaluasi sebagai barometer menentukan tingkat kesuksesan dan kegagalan. Membuktikan apa dan siapa sejatinya yang salah serta di mana letak kesalahannya adalah bentuk evaluasi yang lain. Ini sangat perlu dilakukan untuk bahan referensi menapak langkah perbaikan ke depan.
Kebanyakan orang hanya pintar menilai, mengukur dan mengevaluasi orang lain, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Setiap orang boleh-boleh saja mengoreksi dan mengkritisi orang lain. Namun koreksi dan kritisi yang tidak dilandasi bukti, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Dengan mendeteksi kompetensi guru melalui sejumlah kelulusan yang diraih peserta didiknya, seperti yang digambarkan di atas, saling tuding dan lempar kesalahan antara guru dan orangtua mudah-mudahan dapat dieliminir. Tak perlu lagi guru menuding bahwa siswalah yang bodoh sehingga mereka tidak lulus.. Sebaliknya, orang tua siswa juga tidak perlu menuding guru yang tidak becus.
Setidaknya, semua pihak harus mengetahui dan mengukur diri masing-masing. Semua pihak harus mengoreksi dan mengkritisi diri sendiri. Guru juga manusia. Siswa pun juga manusia. Tak seorang pun yang luput dari kesalahan. Ini sudah menjadi sifat dasar setiap manusia. Hanya Malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah, dan hanya setan yang tidak pernah berbuat benar.
Metode penentuan salah dan benar seperti ini tentu jauh dari ideal. Metode yang ideal adalah win-win sollution. Namun metode seperti digambarkan di atas mungkin lebih adil ketimbang saling tuding dan lempar kesalahan. Mencari kambing hitam dan menuding orang lain sebagai biang kegagalan adalah langkah yang paling efektif untuk mengamankan diri sendiri.
Tapi siapakah yang sudi dijadikan kambing hitam? Tidak seorang pun! Terlebih jika yang tertuduh sebagai biang kegagalan dapat membuktikan diri bahwa bukan dia biangnya. Ingat kata pepatah : “Buruk Muka Cermin Dibelah”. Dia yang bego, koq orang lain yang disalahkan?? (end).
=============
*) Opini Harian Suara Sawerigading, 22 April 2008
Ujian Nasional (UN) adalah salah satu bentuk evaluasi dari sekian banyak bentuk-bentuk evaluasi lainnya. Evaluasi itu sendiri mencakup makna pengukuran dan penilaian. Evaluasi tidak sekedar berfungsi untuk mengetahui kemampuan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok, tetapi evaluasi bertujuan melakukan penilaian total terhadap pelaksanaan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan (Arikunto, 2001:3). Karena itu, kelulusan sejumlah siswa dalam UN adalah keberhasilan semua unsur terkait (stake holders). Sebaliknya, kegagalan sejumlah siswa dalam UN adalah kegagalan semua unsur terkait.
Untuk itulah UN diselenggarakan. UN merupakan bentuk evaluasi yang memiliki sejumlah sasaran penting. Selain untuk menentukan kelulusan siswa, juga untuk mengukur kompetensi guru serta tolok ukur untuk menilai mutu sebuah sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Dari sejumlah sasaran itu, Standar Mutu Pendidikan Nasional pun juga ikut terukur.
Monitoring Kompetensi Guru
Jika selama ini titik berat pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan UN hanya menyorot tajam tingkat kelulusan siswa, kali ini pandangan bisa juga dialihkan untuk monitoring dan mendeteksi kompetensi guru. Mengapa kompetensi guru harus dideteksi? Alasannya adalah karena negara telah memberi intensif berupa tunjangan sertifikasi kepada sejumlah guru yang dianggap profesional melalui uji kompetensi. Negara memberi intensif seperti itu, tentu mengharapkan timbal balik yang setara dari guru-guru yang telah diberi intensif. Apa gunanya negara memberi tunjangan jika ternyata guru-guru tidak mampu menunjukkan kompetensinya? Semoga para guru yang telah mendapat tunjangan menyadari hal ini.
Cara sederhana untuk menentukan tingkat kompetensi guru sebagai agen pembelajaran adalah menggunakan metode ”voting” 50 plus 1 dan 50 minus 1. Misalnya UN Bahasa Inggris. Jika tingkat kelulusan peserta ujian untuk Mata pelajaran bahasa Inggris sebanyak 50% plus satu, berarti guru bahasa Inggris yang mengajar komunitas siswa tersebut dapat dinyatakan kompeten. Artinya, guru yang bersangkutan telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran dan dibebaskan dari tudingan sebagai biang kegagalan. Adapun sejumlah siswa yang tidak lulus harus mengkoreksi diri sendiri bahwa sejatinya merekalah yang gagal.
Sebaliknya, jika hasil kelulusan untuk Bahasa Inggris adalah 50% minus satu, berarti guru yag mengajar komunitas siswa tersebut belum dapat dikatakan kompeten. Konsekuensinya, guru bersangkutan harus mengakui diri bahwa dia tidak kompeten dan harus rela turun peringkat mengajar di kelas yang lebih rendah. Sekolah dan komite sekolah boleh merundingkan sikap yang akan diberlakukan terhadap guru yang bersangkutan.
Dengan bahasa sederhana, jika hanya 1 atau 2 orang saja dari sekian ribu siswa peserta ujian yang tidak lulus, maka orang tua siswa harus tahu malu untuk menuding guru sebagai biang kegagalan. Sebaliknya, jika hanya 1 atau 2 orang saja siswa yang lulus diantara ribuan peserta ujian, maka guru harus tahu malu. Kalau perlu, sembunyikan muka kalian. Mintalah ke Dinas Pendidikan agar diberi mutasi ke sebuah sekolah di daerah pedalaman.
Sayangnya, UN hanya dapat menjadi alat deteksi untuk guru-guru pada kelas 6 SD kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA/SMK. Itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran tertentu yang di UN-kan ditambah 3 buah lagi Mata Pelajaran untuk Ujian Sekolah (US)-kan. Padahal masih lebih banyak guru-guru yang telah mendapat tunjangan, tidak mengajar di kelas yang siswanya mengikuti ujian. Mereka semua juga perlu dideteksi sejauh mana kompetensi mereka.
Karena itu, program setiap sekolah ke depan, sebaiknya memberi prioritas kepada guru-guru senior yang telah mendapat tunjangan sertifikasi, untuk mengajar di kelas 3 SMP/SMA pada 6 Mata Pelajaran yang diujikan itu. Ini untuk menunjukkan pada dunia seberapa besar tingkat kompetensi guru-guru tersebut. It’s show time for the teachers. Buktikanlah, bahwa Anda para guru senior, memang pantas disebut kompeten dan layak mendapat tunjangan. Jangan sampai negara membayar tunjangan kepada para guru senior, namun ternyata kompetensi mereka minor.
Indikasi Kecurangan, Perketat Pengawasan
Menyadari pentingnya sasaran pelaksanaan UN dan US, maka pelaksanaannya pun harus terselenggara dengan baik. Pengawasan pelaksanaannya pun perlu diperketat, karena selama ini disinyalir terdapat indikasi praktek-praktek kecurangan dalam UN dan US oleh sekolah dan guru di setiap pelaksanaannya.
Demi mendapat penilaian sebagai sekolah bermutu dan demi membuktikan diri sebagai guru yang kompeten, tidak jarang pihak sekolah beserta gurunya mengambil jalan pintas dengan memberi bantuan kepada para peserta ujian. Bentuk bantuan itu dapat berupa pemberian jawaban kepada peserta ujian saat ujian berlangsung, atau juga dengan mengoreksi jawaban para siswa sesaat setelah ujian selesai. Praktek kecurangan semacam ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan nasional kita.
Sadar atau tidak, siapapun yang melakukan praktek semacam ini, berarti telah menodai dunia pendidikan kita. Bagaimana bisa mengukur standar pendidikan nasional, menilai mutu sejati sebuah sekolah, mengukur kompetensi sejati seorang guru, serta menentukan kelulusan murni tiap-tiap siswa, jika yang menjawab soal-soal ujian ternyata para guru?
Kecurangan sekolah dan guru saat UN dan US adalah pengkhianatan terhadap amanah UUD 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga melanggar kompetensi kepribadian guru itu sendiri sebagai pribadi yang pantas untuk diteladani. Pantaskah seorang guru dijadikan teladan jika kerap melakukan kecurangan? Tentu saja tidak!
Menentukan Biang Kegagalan
Saat penentuan Ujian Akhir, saling tuding dan lempar kesalahan atas sejumlah siswa yang tidak lulus, telah menjadi pemandangan umum tahunan di semua tempat di seluruh Indonesia. Guru menuding, bahwa siswalah yang bodoh. Sebaliknya, siswa dan orang tua menuding bahwa gurulah yang tidak becus. Kenapa ini bisa terjadi? Siapakah sejatinya yang salah jika siswa tidak lulus ujian?
Saling lempar kesalahan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Hal seperti ini terjadi karena selama ini kita tidak menjalankan fungsi evaluasi sebagai barometer menentukan tingkat kesuksesan dan kegagalan. Membuktikan apa dan siapa sejatinya yang salah serta di mana letak kesalahannya adalah bentuk evaluasi yang lain. Ini sangat perlu dilakukan untuk bahan referensi menapak langkah perbaikan ke depan.
Kebanyakan orang hanya pintar menilai, mengukur dan mengevaluasi orang lain, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Setiap orang boleh-boleh saja mengoreksi dan mengkritisi orang lain. Namun koreksi dan kritisi yang tidak dilandasi bukti, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Dengan mendeteksi kompetensi guru melalui sejumlah kelulusan yang diraih peserta didiknya, seperti yang digambarkan di atas, saling tuding dan lempar kesalahan antara guru dan orangtua mudah-mudahan dapat dieliminir. Tak perlu lagi guru menuding bahwa siswalah yang bodoh sehingga mereka tidak lulus.. Sebaliknya, orang tua siswa juga tidak perlu menuding guru yang tidak becus.
Setidaknya, semua pihak harus mengetahui dan mengukur diri masing-masing. Semua pihak harus mengoreksi dan mengkritisi diri sendiri. Guru juga manusia. Siswa pun juga manusia. Tak seorang pun yang luput dari kesalahan. Ini sudah menjadi sifat dasar setiap manusia. Hanya Malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah, dan hanya setan yang tidak pernah berbuat benar.
Metode penentuan salah dan benar seperti ini tentu jauh dari ideal. Metode yang ideal adalah win-win sollution. Namun metode seperti digambarkan di atas mungkin lebih adil ketimbang saling tuding dan lempar kesalahan. Mencari kambing hitam dan menuding orang lain sebagai biang kegagalan adalah langkah yang paling efektif untuk mengamankan diri sendiri.
Tapi siapakah yang sudi dijadikan kambing hitam? Tidak seorang pun! Terlebih jika yang tertuduh sebagai biang kegagalan dapat membuktikan diri bahwa bukan dia biangnya. Ingat kata pepatah : “Buruk Muka Cermin Dibelah”. Dia yang bego, koq orang lain yang disalahkan?? (end).
=============
*) Opini Harian Suara Sawerigading, 22 April 2008
“EJAKULASI DINI” SERTIFIKASI GURU*
Oleh: Ashari Thamrin M
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2009 telah berakhir. Sekitar 2000-an guru lagi untuk Propinsi Sul-sel akan menerima Sertifikat Profesional beserta tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sebuah pertanyaan besar membuntuti: Benarkah para guru yang telah menyetor Portofolio dan mengikuti PLPG itu telah professional?
Terlalu dini mengatakan “YA”. Sedikit banyak, ada beberapa fenomena klasik yang tak terhindarkan saat penentuan seorang guru menjadi profesional atau tidak professional, baik melalui Portofolio maupun PLPG. Dalam proses penyusunan portofolio, manipulasi data tidak terindarkan. Sementara dalam diklat Profesi Guru, faktor welas asih (belas kasihan), nepotisme, dan target penuntasan sejumlah guru yang harus disertifikasi hingga batas tahun tertentu, pun tak dapat dihindari.
Dalam PLPG, sesungguhnya indikator-indikator penilaian untuk mengidentifikasi seorang guru profesional atau tidak, telah cukup. Sayangnya, keterbatasan waktu pelaksanaan PLPG membuat grogi semua pihak, baik panitia, assessor, apalagi peserta PLPG. Bagaimana tidak, Pre-Test dan Presensi atas materi-materi PLPG, seperti materi Jurusan, Pengembangan Profesionalisme Guru, Model-Model Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas serta penugasan-penugasan untuk ke 4 (empat) jenis materi itu hanya digelar 8 (delapan) hari. Begitu pun penilaian teman sejawat, peer teaching (Praktek mengajar) dan terakhir Post Test (Ujian Akhir) untuk ke 4 (empat) jenis materi di atas, dirangkum dalam durasi 8 (delapan) hari tersebut.
Keterbatasan waktu ditambah ketidakbiasaan yang menimbulkan kekurang-nyamanan bagi semua pihak yang terjadi dalam waktu 8 (delapan) hari itulah yang memunculkan fenomena-fenomena kelulusan klasik dalam PLPG. Peer teaching, misalnya, dalam perspektif peserta didik, -dan juga sebagian asesor penilai-, tidaklah dapat dijadikan acuan bahwa seorang guru mampu mengajar atau tidak. Ini karena keterbatasan waktu yang hanya tersedia 30 menit per peserta, serta ketidaklaziman yang menimbulkan kekurangnyamanan berdiri di hadapan teman sejawat yang harus dianggap sebagai peserta didik (murid/siswa).
Bagi guru-guru yang memang bermodalkan tabiat professional, keterbatasan waktu tidak akan pernah mengusik kenyamanan mereka dalam berpraktek. Sebaliknya, guru-guru yang tidak memiliki tabiat professionalisme, kondisi tersebut justru dijadikan momentum untuk mendramatisir permasalahan agar menjadi gamang dan remang-remang. Buntutnya, hasil penilaian pun terjebak pada fenomena-fenomena kelulusan klasik, seperti yang diuraikan di atas.
Satu kesan yang dapat ditarik dari pelaksanaan sertifikasi guru selama ini adalah pelaksanaannya begitu terburu-buru, sehingga mirip dengan orang yang ejakulasi dini dalam senggama.
PENJENJANGAN
Jadi bagaimana seharusnya sertifikasi guru diselenggarakan, agar “Negara” benar-benar menemukan sosok guru professional?
Dalam kurun waktu 2006 hingga 2009, untuk menjadi seorang guru professional, guru telah dituntut menjadi sosok yang sempurna yang tidak boleh tidak, harus memiliki 4 jenis kompetensi yang dijabarkan dalam 10 poin pokok penilaian portofolio. Akibatnya, banyak kalangan guru melakukan manipulasi data dan fakta atas rekam jejak pengabdian mereka, padahal belum tentu mereka telah lakukan.
Guru juga manusia. Dan tak ada manusia yang sempurna. Upaya mendorong guru untuk mendekati tingkat kesempurnaan melalui sertifikasi guru adalah upaya rasional. Namun justru menjadi tidak rasional manakala dilakukan dengan cara tukang sulap: “Sim salabim, Abra kadabra”.
Karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang setiap penyelenggaraan sertifikasi, dan agar identifikasi professionalisme guru tetap berada dalam koridor professional, maka sebaiknya dilakukan pula langkah-langkah professional.
Pertama, seleksi melalui portofolio tetap dipertahankan sebagai seleksi tahap awal, dengan tambahan 1 (satu) syarat: masing-masing peserta melengkapi portofolionya dengan 3 buah rekaman video aktivitas mengajar/melatih/membimbing yang masing-masing berdurasi 2 jam Mata Pelajaran.
Kedua, professionalisme guru sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Mungkin sampai 3 (tiga) hingga 4 (empat) jenjang atau tingkatan, sehingga nantinya akan ada Professional tingkat I, Professional Tingkat II, Professional tingkat III, dan Professionalisme tingkat IV. Professional tingkat I dapat meliputi kompetensi Akademik (Kepribadian) dan Paedagogik. Professional Tingkat II ditambah lagi satu kompetensi, misalnya kompetensi Sosial. Professional tingkat III benar-benar telah memiliki 4 macam kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yakni Akademik, Paedagogik, Sosial dan Professional.
Tunjangan sertifikasi pun baiknya disesuaikan dengan tingkat professionalisme seorang guru. Professional tingkat pertama diberi setengah, atau 0,5 kali gaji pokok. Professional tingkat II diberi 1 kali gaji pokok, professional tingkat III diberi 2 kali gaji pokok, dan professional tingkat IV diberi 3 kali gaji pokok
Kendati tafsir Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) oleh beberapa ahli menggariskan bahwa ke 4 (empat) jenis kompetensi yang harus dimiliki setiap guru itu utuh dan tidak berlaku partial, namun jika kembali pada perspektif di atas bahwa guru juga manusia dan tak ada manusia yang sempurna, maka kesempurnaan seorang guru adalah suatu kemustahilan. Namun upaya untuk melahirkan dan/atau membentuk guru-guru professional yang mendekati kesempurnaan sesuai yang digariskan UUGD, adalah suatu keniscayaan manakala dilakukakan secara berjenjang, dan tidak dengan cara tukang sulap.
BASIS KINERJA
Sebenarnya, ada cara pintas (shortcut) untuk mengidentifikasi professionalisme seorang guru, yakni dengan penilaian berbasis kinerja. Seorang guru yang mengajar 100 orang peserta didik, dapat dikategorikan professional jika mampu meluluskan 51 orang peserta didiknya dalam Ujian Nasional. Istilah kerennya 50 plus 1. (Opini Tribun: Selasa, 19-02-2008, Sertifikasi Guru yang Rancu). Hanya saja, cara ini akan terasa sangat berat oleh semua pihak, baik pemerintah, Panitia sertifikasi, apalagi peserta sertifikasi.
Namun, untuk mengidentifikasi guru Professional tingkat III, atau juga untuk keperluan penjenjangan Professionalisme guru tingkat IV, cara pintas ini boleh-boleh saja diterapkan. Asal, pengawasan dalam UN untuk peserta didik si guru yang menjadi peserta sertifikasi, benar benar dilakukan ekstra ketat tanpa tekanan psikologi.
REKRUITMEN
Satu hal lagi yang paling krusial yang selama ini terabaikan, padahal seharusnya menjadi bab pendahuluan dalam melahirkan dan mengidentifikasi guru professional, yakni rekruitmen tenaga guru. Rekrutmen tenaga guru melalui jalur database sungguh banyak melanggar azas professionalisme. Sarjana Sastra mengajar Akuntansi, Sarjana Pertanian mengajar Fisika, dan sebagainya. Di mana relevansinya? Bagusnya, rekrutmen melalui jalur database ini diwacanakan akan ditamatkan di tahun 2009. Jadi yang lalu biarlah berlalu.
Satu jalur lagi, yakni melalui jalur umum, patut ditinjau ulang. Kenapa? Masih banyak daerah di Indonesia melakukan sistem perekrutan dengan mengandalkan kemampuan menjawab 100 buah soal Tes Kompetensi Dasar/Umum (TKD/U). Padahal muatan soal-soal TKD/U tidak layak dijadikan satu-satunya tolok ukur atas kemampuan seorang guru. Sarjana Sastra yang tak pernah lagi mengeyam Mata Kuliah Matematika masih juga diberi tes matematika. Mana bisa menjawab?
Saya berani mengatakan bahwa kalau Tes TKD/U dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk rekrutmen tanaga guru, maka lulusan SMA/SMK yang otaknya masih segar menjawab soal-soal sejenis itu, lebih layak menjadi guru ketimbang sarjana. Para lulusan SMA/SMK bila dilatih secara intensif menjawab soal-soal TKD/U, mereka mampu meraih skor 100%.
Jadi bagaimana sebaiknya sistem rekrutmen guru professional? Pertama, Jalur database boleh dibuka kembali, tapi diprioritaskan untuk guru-guru honor (GTT) yang telah lulus Penjenjangan Professional tingkat Pertama sesuai syarat diatas, yakni menyusun Portofolio (lengkap dengan 3 buah rekaman aktivitas) dan lulus dalam PLPG. Kedua, melalui jalur umum dengan tambahan tes wawancara, Tes Kompetensi Bidang (TKB) dan Praktek mengajar.
Bila cara-cara pengidentifikasian guru-guru professional, -mulai dari perekrutan dan penjenjangan-, dilakukan sesuai tawaran di atas, insya Allah, Negara tidak akan mubazzir mengeluarkan APBN trilyunan Rupiah setiap tahunnya untuk membiayai sektor pendidikan. Sebaliknya, jika masih dilakukan dengan cara-cara klasik seperti yang dulu-dulu, niscaya sektor pendidikan kita akan tetap jalan di tempat, bahkan mungkin mengalami langkah mundur. Ingatlah, hanya satu pihak yang merasa puas dalam ejakulasi dini. Siapa itu? Anda sudah tahu jawabannya!
===============
*) Opini Tribun Timur Selasa, 29 Desember 2009 | 21:36 WITA
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2009 telah berakhir. Sekitar 2000-an guru lagi untuk Propinsi Sul-sel akan menerima Sertifikat Profesional beserta tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sebuah pertanyaan besar membuntuti: Benarkah para guru yang telah menyetor Portofolio dan mengikuti PLPG itu telah professional?
Terlalu dini mengatakan “YA”. Sedikit banyak, ada beberapa fenomena klasik yang tak terhindarkan saat penentuan seorang guru menjadi profesional atau tidak professional, baik melalui Portofolio maupun PLPG. Dalam proses penyusunan portofolio, manipulasi data tidak terindarkan. Sementara dalam diklat Profesi Guru, faktor welas asih (belas kasihan), nepotisme, dan target penuntasan sejumlah guru yang harus disertifikasi hingga batas tahun tertentu, pun tak dapat dihindari.
Dalam PLPG, sesungguhnya indikator-indikator penilaian untuk mengidentifikasi seorang guru profesional atau tidak, telah cukup. Sayangnya, keterbatasan waktu pelaksanaan PLPG membuat grogi semua pihak, baik panitia, assessor, apalagi peserta PLPG. Bagaimana tidak, Pre-Test dan Presensi atas materi-materi PLPG, seperti materi Jurusan, Pengembangan Profesionalisme Guru, Model-Model Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas serta penugasan-penugasan untuk ke 4 (empat) jenis materi itu hanya digelar 8 (delapan) hari. Begitu pun penilaian teman sejawat, peer teaching (Praktek mengajar) dan terakhir Post Test (Ujian Akhir) untuk ke 4 (empat) jenis materi di atas, dirangkum dalam durasi 8 (delapan) hari tersebut.
Keterbatasan waktu ditambah ketidakbiasaan yang menimbulkan kekurang-nyamanan bagi semua pihak yang terjadi dalam waktu 8 (delapan) hari itulah yang memunculkan fenomena-fenomena kelulusan klasik dalam PLPG. Peer teaching, misalnya, dalam perspektif peserta didik, -dan juga sebagian asesor penilai-, tidaklah dapat dijadikan acuan bahwa seorang guru mampu mengajar atau tidak. Ini karena keterbatasan waktu yang hanya tersedia 30 menit per peserta, serta ketidaklaziman yang menimbulkan kekurangnyamanan berdiri di hadapan teman sejawat yang harus dianggap sebagai peserta didik (murid/siswa).
Bagi guru-guru yang memang bermodalkan tabiat professional, keterbatasan waktu tidak akan pernah mengusik kenyamanan mereka dalam berpraktek. Sebaliknya, guru-guru yang tidak memiliki tabiat professionalisme, kondisi tersebut justru dijadikan momentum untuk mendramatisir permasalahan agar menjadi gamang dan remang-remang. Buntutnya, hasil penilaian pun terjebak pada fenomena-fenomena kelulusan klasik, seperti yang diuraikan di atas.
Satu kesan yang dapat ditarik dari pelaksanaan sertifikasi guru selama ini adalah pelaksanaannya begitu terburu-buru, sehingga mirip dengan orang yang ejakulasi dini dalam senggama.
PENJENJANGAN
Jadi bagaimana seharusnya sertifikasi guru diselenggarakan, agar “Negara” benar-benar menemukan sosok guru professional?
Dalam kurun waktu 2006 hingga 2009, untuk menjadi seorang guru professional, guru telah dituntut menjadi sosok yang sempurna yang tidak boleh tidak, harus memiliki 4 jenis kompetensi yang dijabarkan dalam 10 poin pokok penilaian portofolio. Akibatnya, banyak kalangan guru melakukan manipulasi data dan fakta atas rekam jejak pengabdian mereka, padahal belum tentu mereka telah lakukan.
Guru juga manusia. Dan tak ada manusia yang sempurna. Upaya mendorong guru untuk mendekati tingkat kesempurnaan melalui sertifikasi guru adalah upaya rasional. Namun justru menjadi tidak rasional manakala dilakukan dengan cara tukang sulap: “Sim salabim, Abra kadabra”.
Karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang setiap penyelenggaraan sertifikasi, dan agar identifikasi professionalisme guru tetap berada dalam koridor professional, maka sebaiknya dilakukan pula langkah-langkah professional.
Pertama, seleksi melalui portofolio tetap dipertahankan sebagai seleksi tahap awal, dengan tambahan 1 (satu) syarat: masing-masing peserta melengkapi portofolionya dengan 3 buah rekaman video aktivitas mengajar/melatih/membimbing yang masing-masing berdurasi 2 jam Mata Pelajaran.
Kedua, professionalisme guru sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Mungkin sampai 3 (tiga) hingga 4 (empat) jenjang atau tingkatan, sehingga nantinya akan ada Professional tingkat I, Professional Tingkat II, Professional tingkat III, dan Professionalisme tingkat IV. Professional tingkat I dapat meliputi kompetensi Akademik (Kepribadian) dan Paedagogik. Professional Tingkat II ditambah lagi satu kompetensi, misalnya kompetensi Sosial. Professional tingkat III benar-benar telah memiliki 4 macam kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yakni Akademik, Paedagogik, Sosial dan Professional.
Tunjangan sertifikasi pun baiknya disesuaikan dengan tingkat professionalisme seorang guru. Professional tingkat pertama diberi setengah, atau 0,5 kali gaji pokok. Professional tingkat II diberi 1 kali gaji pokok, professional tingkat III diberi 2 kali gaji pokok, dan professional tingkat IV diberi 3 kali gaji pokok
Kendati tafsir Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) oleh beberapa ahli menggariskan bahwa ke 4 (empat) jenis kompetensi yang harus dimiliki setiap guru itu utuh dan tidak berlaku partial, namun jika kembali pada perspektif di atas bahwa guru juga manusia dan tak ada manusia yang sempurna, maka kesempurnaan seorang guru adalah suatu kemustahilan. Namun upaya untuk melahirkan dan/atau membentuk guru-guru professional yang mendekati kesempurnaan sesuai yang digariskan UUGD, adalah suatu keniscayaan manakala dilakukakan secara berjenjang, dan tidak dengan cara tukang sulap.
BASIS KINERJA
Sebenarnya, ada cara pintas (shortcut) untuk mengidentifikasi professionalisme seorang guru, yakni dengan penilaian berbasis kinerja. Seorang guru yang mengajar 100 orang peserta didik, dapat dikategorikan professional jika mampu meluluskan 51 orang peserta didiknya dalam Ujian Nasional. Istilah kerennya 50 plus 1. (Opini Tribun: Selasa, 19-02-2008, Sertifikasi Guru yang Rancu). Hanya saja, cara ini akan terasa sangat berat oleh semua pihak, baik pemerintah, Panitia sertifikasi, apalagi peserta sertifikasi.
Namun, untuk mengidentifikasi guru Professional tingkat III, atau juga untuk keperluan penjenjangan Professionalisme guru tingkat IV, cara pintas ini boleh-boleh saja diterapkan. Asal, pengawasan dalam UN untuk peserta didik si guru yang menjadi peserta sertifikasi, benar benar dilakukan ekstra ketat tanpa tekanan psikologi.
REKRUITMEN
Satu hal lagi yang paling krusial yang selama ini terabaikan, padahal seharusnya menjadi bab pendahuluan dalam melahirkan dan mengidentifikasi guru professional, yakni rekruitmen tenaga guru. Rekrutmen tenaga guru melalui jalur database sungguh banyak melanggar azas professionalisme. Sarjana Sastra mengajar Akuntansi, Sarjana Pertanian mengajar Fisika, dan sebagainya. Di mana relevansinya? Bagusnya, rekrutmen melalui jalur database ini diwacanakan akan ditamatkan di tahun 2009. Jadi yang lalu biarlah berlalu.
Satu jalur lagi, yakni melalui jalur umum, patut ditinjau ulang. Kenapa? Masih banyak daerah di Indonesia melakukan sistem perekrutan dengan mengandalkan kemampuan menjawab 100 buah soal Tes Kompetensi Dasar/Umum (TKD/U). Padahal muatan soal-soal TKD/U tidak layak dijadikan satu-satunya tolok ukur atas kemampuan seorang guru. Sarjana Sastra yang tak pernah lagi mengeyam Mata Kuliah Matematika masih juga diberi tes matematika. Mana bisa menjawab?
Saya berani mengatakan bahwa kalau Tes TKD/U dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk rekrutmen tanaga guru, maka lulusan SMA/SMK yang otaknya masih segar menjawab soal-soal sejenis itu, lebih layak menjadi guru ketimbang sarjana. Para lulusan SMA/SMK bila dilatih secara intensif menjawab soal-soal TKD/U, mereka mampu meraih skor 100%.
Jadi bagaimana sebaiknya sistem rekrutmen guru professional? Pertama, Jalur database boleh dibuka kembali, tapi diprioritaskan untuk guru-guru honor (GTT) yang telah lulus Penjenjangan Professional tingkat Pertama sesuai syarat diatas, yakni menyusun Portofolio (lengkap dengan 3 buah rekaman aktivitas) dan lulus dalam PLPG. Kedua, melalui jalur umum dengan tambahan tes wawancara, Tes Kompetensi Bidang (TKB) dan Praktek mengajar.
Bila cara-cara pengidentifikasian guru-guru professional, -mulai dari perekrutan dan penjenjangan-, dilakukan sesuai tawaran di atas, insya Allah, Negara tidak akan mubazzir mengeluarkan APBN trilyunan Rupiah setiap tahunnya untuk membiayai sektor pendidikan. Sebaliknya, jika masih dilakukan dengan cara-cara klasik seperti yang dulu-dulu, niscaya sektor pendidikan kita akan tetap jalan di tempat, bahkan mungkin mengalami langkah mundur. Ingatlah, hanya satu pihak yang merasa puas dalam ejakulasi dini. Siapa itu? Anda sudah tahu jawabannya!
===============
*) Opini Tribun Timur Selasa, 29 Desember 2009 | 21:36 WITA
Langganan:
Komentar (Atom)