Oleh Ashari Thamrin M
Bulan Ramadhan adalah bulan da’wah. Karena itu, semua orang wajib mengajak kepada kebaikan dan kebenaran, dan menyeru meninggalkan kemungkaran. Predikat sebagai subjek da’wah tidak boleh melulu monopoli para ulama dan udztas. Masing-masing kita dapat menjadi objek da’wah, tapi juga dapat menjadi subjek (pelaku) penyampai da’wah. Kalau agamawan berda’wah melalui mimbar, maka guru berda’wah di depan kelas. Pejabat pun dapat berdakwah di kantor atau di lapangan upacara. Musisi tidak boleh kalah. Mereka pun dapat berda’wah melalui lagu dan musik. Lihatlah kelompok Band Ungu yang setiap tahunnya meluncurkan Album Religi.
Bagaimana dengan kalangan intelek? Mereka dapat berda’wah melalui tulisan, misalnya berda’wah melalui buku, atau membuat novel da’wah semacam ayat-ayat cinta. Paling tidak, mereka dapat berda’wah melalui kolom opini yang disediakan di koran-koran.
Para jurnalis (wartawan) dapat berda’wah dengan melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh agama, dan melaporkan hasil wawancara itu melalui koran. Tema wawancara bisa saja mengenai hukum agama, misalnya bagaimana hukum setoran awal calon eksekutif ke parpol, atau pandangan agama atas pengungkapan kriminalitas melalui tulisan (Pelaporan Pers).
Kenapa ini penting? Itu karena saat ini kita berada di zaman edan, dimana kepentingan disembah sebagai “Tuhan” satu-satunya. Zaman di mana orang begitu sibuk mencari jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan, hingga lupa apa masalahnya. Jika masing-masing kita mampu menjadi juru da’wah, insya Allah kondisi itu dapat teratasi.
EFEK TULISAN
Menulis adalah salah satu metode penyampaian da’wah yang efektif. Adakalanya seseorang tidak suka ditegur secara verbal, tapi sangat mengapresiasi setiap pandangan-pandangan melalui tulisan. Menurut Drs. A.S. Haris, perbedaan antara orang beradab dengan orang yang biadab adalah menulis. Alasan Haris, pemisah antara zaman prasejarah dan zaman sejarah adalah tulisan. Karena itu wajib bagi seorang intelek untuk menulis, entah itu menulis buku atau menulis artikel/opini.
Manfaat menulis sangat besar. Menurut Mochtar Lubis, menulis adalah vitamin batin. Kerja otak kanan membuat halus sikap hidup insani. Dan jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab. Selain itu menulis juga bisa menjadi sarana menemukan sesuatu, dapat memunculkan ide baru dan sarana mengungkapkan diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep, membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa.
Seorang penulis yang terbiasa menyampaikan pesan-pesan moral atau kritik social, tidaklah berarti penulis tersebut mengklaim diri paling taqwa atau paling bermoral. Sebab konsekuensi menulis hal tersebut, sang penulis siap melaksanakan semua pesan moral yang disampaikannya serta meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dalam istilah agama, Amar ma’ruf Nahi Mungkar. Dan inilah yang disebut oleh Muchtar Lubis sebagai vitamin batin.
Bukti paling konkrit dapat kita lihat pada Grup Band Ungu. Diantara puluhan Grup Band Top di Indonesia, Ungu yang paling bersih dari narkoba dan sex bebas. Kiatnya, mereka konsisten menulis lagu yang bermuatan da’wah. Dengan menulis dan melantunkan pesan moral lewat lagu, grup band ini siap melaksanakan pesan moral yang disampaikannya sekaligus meninggalkan semua kritik social yang dilontarkannya. Dengan begitu, mereka secara otomatis membangun benteng terhadap ekses negative Dunia Gemerlap (Dugem).
Bayangkanlah dampaknya jika semua grup band melakukan hal yang sama. Bayangkan pula jika semua kalangan intelektual, pejabat eksekutif, legislative, atau pun masyarakat biasa masing-masing menjadi subjek da’wah secara lisan atau pun tulisan. Insya Allah Korupsi dan berbagai kekejian dan kemungkaran dapat teratasi.
SEMBELIT
Sangat disayangkan, Luwu Raya yang sarat dengan kalangan Intelek -mulai S1 hingga Professor- justru sepi dengan tulisan-tulisan dari kalangan intelektualnya. 2 buah Koran lokal yang setiap hari beredar di kawasan ini, terkadang mengisi ruang opini mereka dengan hasil mengunduh dari internet. Manakah buah pikiran intelektual lokal kita? Apa mungkin mereka pada sembelit, rakus memakan ilmu tapi tidak pernah mampu “membuang kotoran” ilmunya? Padahal, dalam dunia Intelektual, mereka yang tidak pernah menulis itu sama dengan orang yang sembelit atau susah BAB (buang air besar).
Padahal lagi, aktivitas menulis dapat mengasah dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (Word Smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Orang yang sering menulis akan terasah ketajamannya terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka akan mudah menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga akan mahir memanipulasi sintaksis (struktur/susunan kalimat), juga peka terhadap semantik (pemahaman tentang makna).
Kendala yang dijadikan alasan utama hingga orang tidak menulis.adalah kesulitan menulis karena tidak punya bakat menulis. Saya tidak habis pikir, mengapa ada alasan semacam ini. Ketika Anda menulis skripsi, disertasi atau tesis, kemanakah bakat itu? Solusi efektif untuk masalah ini adalah keberanian untuk menulis. Soal tulisan memenuhi kaedah atau tidak, semua bisa di atur. Apalagi kalau pelaku media mau mewaqafkan sedikit waktunya untuk membimbing calon penulis, misalnya dengan menunjukkan bagian mana dari tulisan seseorang yang harus dilakukan perbaikan. Ketahuilah, bahwa tidak akan ada langkah kedua jika anda tidak memulai langkah pertama.
Kendala lain, banyak juga kalangan intelek kita yang enggan menulis terkait masalah kompensasi (upah). Kendala seperti ini sudah lazim, dan bukan saja terjadi dalam dunia tulis menulis. Dalam dunia da’wah pun tidak sedikit udztas atau ulama yang enggan berda’wah/ceramah atas pertimbangan ini. Bahkan beberapa udztas lainnya pilah-pilih tempat ceramah. Untuk kalangan udztas atau ulama, penulis, calon penulis dan para intelek yang berpikiran seperti ini, pertimbangkanlah firman Allah SWT berikut ini:
1. Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. QS. Shad (86).
2. Upah dari Tuhanmu[1012] adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik. QS. Al-Mu’minun (72).
============
*) Opini Suara Sawerigading 3 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar