Selasa, 01 Februari 2011

TERLAHIR SEBAGAI KORUPTOR (2)*

Oleh: Ashari Thamrin M, SS

Pertentangan masalah takdir bukan hanya monopoli kalangan agama (Jabariyah dan Qadariyah). Para ilmuwan pun mengalami pertentangan yang hebat terkait masalah ini. Hanya, perlu dibedakan pengertian takdir yang dipertentangkan oleh kalangan agama dengan pengertian takdir yang diperdebatkan ilmuwan. Takdir dalam perspektif agama adalah ketetapan Allah (Perspektif Ketuhanan). Sementara takdir dalam perspektif ilmuwan adalah keunggulan positif atau negatif ummat manusia (Perspektif Humaniora), yang tampak pada pembahasan pertama sebagai gelar, attribut atau predikat. Kendati demikian, perbedaan perspektif itu memiliki korelasi bagai 2 sisi mata uang. Itu karena kedua-duanya membicarakan masalah humaniora (kemanusiaan).

Genetik vs Miliu
Pertentangan takdir dalam perspektif ilmiah, diwakili oleh 2 kubu, pro determinisme genetik (keturunan), dan pro determinisme miliu (lingkungan). Penganut Determinisme Genetik dipelopori oleh Edward O. Wilson, seorang pakar serangga (entomologi). Mereka berkesimpulan bahwa apa pun karakter seseorang, maka itu adalah warisan dari orangtuanya dan itu diwariskan secara genetis. Kalau seseorang bertabiat pemenang, begitu pula orangtuanya, dan keturunannya pun nantinya akan demikian. Kalau seseorang itu koruptor, berarti orangtuanya juga koruptor, dan keturunannya (anak cucunya) pun nantinya akan menjadi koruptor. Naudzubillah min dzalik!!
Mendengar teori ini, kubu determinisme lingkungan mencak-mencak tidak terima. Kubu ini dipelopori oleh Richard C. Lewontin, yang justru seorang pakar genetika. Mereka memiliki hasil riset dan berkesimpulan bahwa kita memiliki jumlah gen (39 ribu) jauh lebih sedikit daripada yang pernah dipikirkan (100-150 ribu). Hasil riset itu memperkuat pandangan mereka bahwa pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dalam membentuk cara manusia bertindak. Menurut kubu ini, klaim-klaim bahwa manusia terpenjara dalam gen runtuh secara dramatis. Manusia tidak cukup memiliki gen untuk membenarkan ide determinisme biologis (genetis). Cerita tentang Tarzan sangat mempresentasikan teori ini.
Maksudnya, kalau pun seseorang dilahirkan dari orangtua yang soleh, tidak menjamin bahwa ia juga akan menjadi soleh. Keturunannya pun tidak dijamin akan menjadi anak yang soleh. Kalau Anda saat ini berpredikat sebagai koruptor (ketahuan atau belum), itu tidak berarti orangtua anda juga koruptor, dan juga tidak menjamin anak-cucu anda nantinya juga akan menjadi koruptor. Semua tergantung lingkungan kekinian masing-masing individu.
Mana yang benar dari kedua kubu di atas? Sebesar apakah kadar kebenaran masing-masing kubu? Kendati bertentangan –bahkan Wilson dan Lewinton yang sekantor itu sempat tidak bertegur sapa dalam jangka waktu yang lama--, namun harap dipahami bahwa kedua kubu di atas hanya memperdebatkan faktor dominan pembentuk watak (karakter) manusia. Mereka hanya bertengker tentang faktor mana yang lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan watak manusia. Namun kedua kubu saling mengakui bahwa baik genetik maupun lingkungan punya pengaruh dan andil yang sangat besar.

Perspektif Agama
Di tengah-tengah pertentangan kedua kubu, hadir pula Stephen R Covey dengan bukunya 7 Kebiasaan Manusia yang sangat Effective. Covey tidak membenarkan atau menyalahkan salah satu atau kedua kubu. Ia hanya menawarkan konsep ”proaktif” yang dapat menjadi solusi atas kedua jenis determinisme itu.
Intinya, bagaimana pun buruknya kondisi sikap dan mental para orang tua dan lingkungan, yang terpenting adalah kemandirian dalam bersikap dan berperilaku. Covey menyebutnya kemandirian dalam memilih respon berdasarkan nilai (norma dan aturan). Maksudnya, walaupun orangtua Anda dan lingkungan anda ditakdirkan sebagai koruptor, yang penting Anda jangan ikut-ikutan menjadi koruptor, karena itu tidak sesuai norma dan aturan. Anda harus bersikap tegas!
Lalu Bagaimana pula agama melihat pertentangan kedua kubu di atas, termasuk solusi dari Stephen R. Covey? Sebelumnya, saya harus mohon ma’af kepada pemeluk agama lain, karena uraian berikut ini akan mengangkat subjektifitas agama saya. Itu karena Dalil yang saya ketahui, hanya dari agama saya.
Apa yang dikemukakan oleh para ahli tentang pembentukan karakter atau watak, yang berujung pada takdir (predikat atau attribut), bukanlah konsep baru. Titik temunya ada pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (Shahih Muslim No.4803)
Hadits di atas adalah gambaran subjektifitas agama. Jelas rasis, tapi kita tidak membicarakan rasisme disini. Apalagi, saya meyakini bahwa, setiap agama pasti memiliki pespektif serupa. Nama-nama agama di atas, dapat diterjemahkan dengan semantik yang sesungguhnya, dapat juga dimaknai secara simbolik. Bisa dimaknai secara positif, bisa juga dimaknai secara negatif. Tergantung subjektifitas individu masing-masing ummat beragama.

Penulisan Takdir Pertama
Orangtua (Ibu bapak) adalah genetis, sekaligus lingkungan pertama yang menjadi pengalaman hidup seorang anak manusia, baik sebelum terlahir (dalam kandungan), maupun ketika ia terlahir. Kedua orangtua mewarnai gen biologis dan gen psikologis setiap keturunannya. Jika orangtua makan uang haram dari hasil korupsi, maka ketika orangtua itu melahirkan anaknya, maka anak itu membawa bibit korupsi orangtuanya, baik secara biologis maupun psikologis. Disinilah proses penulisan takdir itu dimulai.
Olehnya itu, dalam Islam dikenal pendidikan pra lahir, bahkan pendidikan pra nikah, di mana karakter calon ibu dan ayah harus dibenahi se-sholeh mungkin, sebelum menghadirkan seorang anak di planet ini. Itu karena dipahami akan berpengaruh besar pada takdir keturunannya. Sayangnya, pendidikan pra nikah dan pra lahir itu tidak pernah dilakukan secara formal bagi para calon pengantin dan calon orang tua. Mau kawin, ya kawin aja! Yang penting ada mahar, ada uang belanja. Mau bikin anak, ya bikin aja. Ngapain pake aturan segala?
Begitulah..., kebanyakan orang sekarang, cuek bebek dengan pendidikan pra nikah dan pra lahir! Karena itu, kalau mau bagus, hendaknya Pemkab atau Pemkot memfasilitasi hal ini. Semua demi moral bangsa ke depan! Beri anggaran kepada Depag dan Dikmas untuk melaksanakannya secara formal. Wajibkan kepada setiap calon pengantin dan calon orangtua untuk mengikuti program pendidikan tersebut. Buatkan konsekuensi bagi yang tidak bersedia mengikuti program itu. Insya Allah Masa depan dunia dan akhirat akan cerah! Oh ya....? Masa Depan...?

Masa Depan Sejati
Seninya membicarakan takdir adalah harapan akan adanya perubahan masa depan yang lebih cerah, atau esok lebih baik. Takdir perspektif agama, titik beratnya pada bagaimana akhir perjalanan hidup seseorang. Sempatkah ia melakukan mutasi perilaku (bertobat) atau tidak. Sementara takdir perspektif ilmuwan lebih cenderung memberi motivasi kepada setiap orang untuk memberdayakan potensinya, meraih kesuksesan duniawi, meski minim pertimbangan akan kehidupan di balik kematian.
Masa depan sejati bukanlah masa di mana dan bagaimana seorang anak nantinya akan menjadi pejabat eksekutif, pejabat legislatif, atau pejabat eselon. Tapi bagaimana para pejabat itu tetap menjabat jabatannya, tanpa harus mengambil resiko yang paling populer, menjadi seorang koruptor. Yang penting adalah, bukan seperti apa kita sekarang ini, tapi bagaimana kita akhirnya (ujung nafas kita). Apakah kita menjadi Husnul Khatimah (makessing paccappurenna) ataukah Su’ul Khatimah (maja’ paccappurenna).
Usia produktif dan tenggang waktu menikmati korupsi paling lama 30 hingga 40 tahun. Sangat tidak sebanding dengan konsekuensi duniawi dan akhirat yang akan kita terima. Lagipula, jangan lupa, ajal terus membuntuti dibelakang kita. Bila saat kedatangannya tiba, ajal tidak kenal apa, siapa, kapan dan dimana. Bisa jadi belum genap 30-40 tahun Anda menikmati hasil korupsi, ajal telah menjemput. Haruskah Anda menukar jumlah yang tidak berarti itu dengan penderitaan sepanjang masa di alam sana?

Konsekuensi
Yang menjadi dilema bagi para koruptor adalah mereka tidak pernah merasa diri sebagai koruptor. Mereka dengan istri-istri/suami-suami mereka beserta anak-anak mereka, tetap saja tenang-tenang menikmati hasil korupsinya. Mereka tidak punya tolok ukur tentang halal dan haram. Dana korupsi pun di pakai berhaji. Mereka tidak pernah takut dengan konsekuensi duniawi dan ukhrawi atas perbuatan mereka.
Jika Anda seorang pejabat yang masih memiliki kesaradan diri untuk hidup bersih, dan ingin lepas dari jeratan takdir sebagai koruptor, mulai saat ini, belajarlah untuk selalu mempertanyakan setiap penghasilan yang Anda terima di luar gaji, yang tidak memiliki juklak dan juknis. Bertanyalah pada diri sendiri, apakah yang Anda terima itu halal atau haram? Layakkah Anda menerimanya atau tidak?
Anda jangan tertawa menanyakannya. Kerutkan dahi Anda untuk memikirkannya. Jika Anda ragu halal atau haram, mintalah saran kepada udztas dan ulama yang belum terkontaminasi dengan virus perilaku korupsi. Kembalikanlah penghasilan itu jika saran yang Anda dapatkan mengatakan haram.
Selain itu, Anda juga harus mem-PHK diri Anda. Maksudnya? Putus Hubungan dengan Koruptor. Anda harus menjaga jarak. Jangan bergaul dengan koruptor atau di lingkungan yang korup. Tapi, jika Anda lebih cenderung mencari alasan pembenaran untuk setiap penghasilan yang anda peroleh di luar gaji itu, dan tidak mampu menjaga jarak dengan para koruptor, berhati-hatilah! Boleh jadi anda pun telah terkontaminasi virus kecenderungan untuk menjadi seorang koruptor.
Lebih dari itu, jika Anda mengabaikan 2 saran di atas, mungkin Anda memang dilahirkan dan ditakdirkan sebagai koruptor. Karena itu, terimalah takdir Anda. Nikmati sepuasnya hasil korupsi itu sepanjang sisa hidup Anda. Rugi dua kali jika Anda tidak melakukan hal itu. Sebab, di dunia ini, KPK senantiasa mengincar Anda dan siap memasukkan Anda di ’neraka’nya. Lalu, di alam sana, setelah ajal menjemput, kerugian yang sangat besar dan tiada habisnya telah menunggu di pintu kubur.
Seperti apakah konsekuensi bagi para koruptor? Untuk memahami Ranah Afektif (Zona Penyikapan) ini, tiap pejabat perlu dibawa jalan-jalan atau nginap di penjara, dan diperlakukan sebagai tahanan seseungguhnya, meski untuk jangka waktu 1 atau 2 hari. Lalu, untuk mengetahui seperti apa keadaan para kriminal di alam kubur sana, kutipan berikut ini mungkin dapat memuaskan pertimbangan Anda :
Al-Mu’min (45-46). Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta kaumnya dikepung oleh azab (siksa) yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang[1324], dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras." [1324]. Maksudnya: dinampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit.
Dikisahkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam buku al-Qabru (alam kubur), dengan sumber dari asy-Sya’bi bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw., :
”Aku melewati Badr, tiba-tiba melihat laki-laki itu keluar dari bumi, kemudian dipukuli oleh laki-laki lain yang mencambuk dengan cambuk besi sehingga ia masuk lagi ke bumi kemudian keluar lagi dan disiksa lagi.” Mendengar itu, Rasulullah saw., bersabda, ”Itu Abu Jahal bin Hisyam, disiksa sampai hari kiamat.”
Abu Jahal telah melakoni pengelolaan sumber dayanya itu selama 14 abad. Fir’aun lebih lama lagi, 40 abad. Padahal masa hidup mereka di dunia ini setengah abad pun belum tentu cukup. Seperti apakah daya tahan mereka menghadapi ’gemblengan’ itu?
Kalau Anda ingin mengujinya, sesering mungkinlah berada di lokasi kejadian ketika petugas pemadam kebakaran menjalankan fungsinya. Kalau Anda tidak sabar menunggu momen itu, ada cara mudah. Bukalah sepatu dan kaos kaki Anda. Berjalanlah di atas aspal antara pukul 1 hingga pukul 2 siang dengan kaki telanjang. Hitunglah berapa detik Anda mampu bertahan!! (Wallahu ‘alam bissahawab).
=================
*) Opini ini dimuat di harian Suara Sawerigading pada 01 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar