Selasa, 01 Februari 2011

SEPUPU YANG TERHORMAT *

Oleh : Ashari Thamrin M, SS

4 tahun lalu kita dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang sepupu kita di rumah-rumah kita. Di antara para sepupu itu, ada yang memang sering nongol dihadapan kita, dan kita kenal baik dengannya. Tapi ada juga yang sama sekali tidak pernah nongol, lalu tiba-tiba datang ke rumah kita, kayak orang tersesat.
Yang lucu, ada juga beberapa orang mendatangi kita dan ngaku-ngaku sepupu kita. Padahal sama sekali tidak ada hubungan darah. Sebut saja mereka sepupu dari Adam, atau mungkin lebih tepat disebut, ”sepupu lain kali”.
Para sepupu itu, datang dengan berbagai macam bentuk perilaku. Ada yang kayak pengemis mengiba minta dikasihani, ada juga yang gayanya mirip peminta-minta beras atau sumbangan. Ada juga yang gayanya mirip pemain multi level marketing (mlm) yang memberi iming-iming bonus kalau kita-kita --para sepupunya ini-- dapat memuluskan hajatan mereka. Apa hajatan mereka?
Ini dia. Para sepupu itu kayak orang ngidam, mau sekali menjadi orang ”yang terhormat”. Dan memang, negara kita menyediakan sebuah lembaga khusus yang menampung orang-orang yang terhormat, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Kebetulan, sejak 4 tahun lalu terbuka ”kran” bagi setiap orang untuk mengisi jabatan orang-orang yang terhormat itu.
Reaksi kita menerima kedatangan para sepupu itu beragam. Umumnya, kita merasa senang, karena beberapa sepupu yang tidak pernah ”menganggap” kita itu, akhirnya ”nongol” juga. Kita pun bangga, karena terbuka peluang bagi kita untuk benar-benar terwakili di lembaga orang-orang ”yang terhormat” itu. Kita bangga, karena orang yang akan mewakili kita itu adalah sepupu kita sendiri.
Perasaan senang dan bangga menyelimuti hati kita. Tanpa sadar, perasaan itu memotivasi kita untuk berkunjung ke tetangga, mempengaruhi mereka memilih sepupu kita. Semua demi menggolkan sepupu kita. Tapi kemudian kita kecewa oleh banyak hal.
Kekecewaan pertama terjadi ketika penentuan siapa-siapa saja yang akan menjadi wakil kita. Kita kecewa, karena yang menjadi wakil kita adalah sepupu lain kali, dan bukan sepupu dekat yang kita perjuangkan selama masa kampanye. Padahal sepupu dekat kitalah yang punya suara terbanyak. Kenapa bisa? Usut punya usut, ternyata sepupu dekat kita hanya dijadikan ”kolektor suara” bagi sepupu lain kali kita. Yang menjadi penentu saat itu adalah nomor urut, bukan suara terbanyak.
Perjalanan waktu kian menambah kekecewaan. Sepupu lain kali kita yang telah menjadi terhormat, memperlihatkan aslinya. Mereka tidak pernah mau berbasa-basi dengan kita. Juga tidak pernah mau nongol di rumah kita. Jangankan untuk mengajukan aspirasi, memandang pun mereka sudah ogah. Beberapa di antara mereka memelihara sikap arogan, bagai kacang yang lupa kulitnya. Sepupu kita yang terhormat (Yth), menjadikan kita sepupunya yang tak dianggap (Ytd). Kita hanya dianggap batu loncatan untuk meraih hajatan (tujuan) nya.
Belakangan, beberapa sepupu kita yang seharusnya memberantas diskriminasi dan nepotisme dalam pendidikan, justru ambil bagian dalam praktek itu. Kepala sekolah pun tidak berani menolak ”katebelece” dari sepupu kita, yang ngidam anaknya di bina di sekolah unggulan. (hehehe...., kepala sekolah juga takut??). Orangtua siswa yang anaknya ditolak padahal lebih layak untuk diterima, teriak kencang : ”Umba na kua to sampuuu....??”.
Dari mana logikanya seorang pelayan (masyarakat) minta dilayani secara exclusive? Dari mana pula logikanya, seorang pengemis dan menjadi sukses dari hasil mengemisnya, ngidam diperlakukan sebagai warga kelas satu? Salah kaprah ki sampuuu...!!

Sepupu Nasional
Kita masih layak bersyukur, apa yang dilakukan oleh sepupu kita di Kabupaten dan Kota tidak seburuk dengan perilaku beberapa orang sepupu kita di tingkat Nasional. ”Sepupu Nasional” kita telah ada beberapa yang terjerat KPK. Terakhir, Yusuf Emir Faisal (YEF) –suami Hetty Koes Endang— yang diperiksa KPK dan telah berstatus tersangka, menyebut adanya pasukan ”Gegana” di DPR. Salah satu anggota Gegana yang disebutkan YEF adalah sepupu nasional kita dari Sulsel. Semoga saja itu tidak terbukti. Sebab kalau terbukti, nasib kita akan sama dengan Rajab Haris Nasution yang dibuat malu oleh sepupunya dari Sumatera, Al-Amin Nasution. Kenapa mesti malu?
Yap..., namanya saja wakil kita, sepupu kita. Sedikit banyaknya, dia mewakili wajah dan karakter kita. Kalau dia berbuat elegan (terpuji), keluarga dan lingkungan yang diwakilinya ikut menjadi harum hingga ke langit yang ke tujuh. Tapi kalau dia berbuat sebaliknya, berbuat keburukan atau kebusukan, semua orang dan malaikat yang ada di langit akan tutup hidung. Ah..., masa? Masih percayakah Anda dengan hal-hal metafisik?

Pesona Legislatif
Sulitnya lapangan kerja yang memadai, ditambah pesona jabatan legislatif dengan sejumlah sarana dan prasarana exclusive yang melingkupinya, menjadi pemicu utama banyaknya anggota masyarakat tergiur mendaftarkan diri menjadi legislatif. Tentu tidak ada yang boleh melarang, karena hal itu diatur oleh undang-undang. Tapi, justru kita sebagai pemilih yang harus hati-hati.
Sejumlah bukti memaparkan, beberapa anggota legislatif yang dulunya pengangguran kini berubah nasibnya 360 derajat. Dari ‘kere’ menjadi perlente,. Dari sulit membeli sebungkus rokok, menjadi gampang membeli sebuah mobil. Dari tidak punya apa-apa, kini menjadi punya banyak apa-apa. Dari yang dulunya mengiba dan mengemis suara, kini menjadi exclusive, lalu tak pernah nongol di depan pemilih yang telah memilihnya. From Zero to Hero, dari nol menjadi pahlawan. Padahal kita tidak tahu pasti apa saja yang telah mereka perjuangkan. Uuuh..., enaknyaaa!! (Cemburu nich yee...!!).
Yang kasihan, sepupu dekat kita. Mereka yang susah payah mengemis suara, eee..... sepupu lain kali yang nikmati. Padahal -rencananya, kalau sepupu dekat kita yang jadi anggota legislatif, kita mau ”menjewer” kupingnya bila dia nakal dan budek. (bahasa daerah kita: taru-taru/garido...., hehehe). Tapi, bagaimana mau menjewer kalau yang jadi legislatif sepupu lain kali kita? Yaa..., nggak bisa. Melawan dia...!!
Ada cerita seorang teman. Lantaran lupa menambah kata ”Yang Terhormat” ketika menyapa sepupu lain kalinya, ehh..., dia dicuekin. Sepupu mana yang tidak kesal ? Tapi teman itu cukup maklum --setelah tau-- sepupu yang terhormat itu punya riwayat penyakit masa kecil berupa radang telinga yang bernanah (bahasa daerah kita : Cuekang!! Hehehe....). Tapi mau bagaimana lagi? Sudah seperti itulah kondisi (takdir/nasib) dan perilaku beberapa orang sepupu lain kali kita yang terlanjur mewakili kita.
Tapi okelah. Setahun lagi ke depan akan membuktikan seperti apa mereka nantinya bila tidak terpilih lagi. Karena itu –saat pemilu nanti-, jangan lagi memilih partai, tapi pilihlah orangnya. Jika ada politikus busuk mendatangi anda, silahkan tutup hidung, (eehh..., tutup pintu). Atau, silahkan buka pintu dan ambil uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Atau jangan ambil uangnya, jangan juga pilih orangnya. (Hahaha...., Emang enak dicuekin??)

Rasisme dan Nepotisme
Tahun ini adalah momen berharga sekaligus momen terakhir bagi beberapa sepupu kita menikmati suasana exclusive-nya. Pemilu ke depan, kita harus lebih selektif memilih sepupu yang akan mewakili kita. Tentunya, bukan sekadar sepupu dekat, tapi sepupu yang lebih baik dari kita, lebih bermoral dari kita, lebih cerdas dari kita, dan lebih aspiratif dari beberapa sepupu lain kali kita yang sekarang ini. Sepupu dekat yang memiliki kadar Intelektual, Spiritual dan Emosional (ISE Quotion) yang lebih baik. Di atas rata-ratalah dalam semua aspek positif dibanding diri kita. Dan di bawah rata-rata dalam segala aspek negatif dibanding diri kita.
Lho..., bukankah ini yang namanya rasisme dan nepotisme? Betul. Tapi sepanjang rasisme dan nepotisme tidak melanggar hak orang lain, mengapa tidak? Dalam hal perwakilan, Rasisme dan nepotisme rasanya sah-sah saja, karena itu akan mencerminkan wajah dan karakter serta tanggungjawab kelompok yang diwakilinya. Makanya, pilihlah yang terbaik dari ras dan keluarga Anda, jangan pilih utusan yang akan mempermalukan ras dan keluarga Anda. Gambaran seleksinya, seperti ketika kita mengirim utusan untuk MTQ, PON, atau Oliampiade Olahraga/sains.
Adalah meletakkan bangsa ini dalam resiko yang besar, manakala kita masih mau memilih caleg yang murni mencari nafkah dari politik. Alasannya? Karena caleg seperti itu -secara psikologis dan empiris- hanya memandang gedung DPR/DPRD sebagai wadah mengumpulkan ”sekeranjang” uang. Padahal, Anda tahu sendiri seperti apa harapan Anda memilih caleg. Anda pun sudah tahu, seperti apa tugas dan fungsi legislatif. Pengalaman periode yang lalu cukuplah menjadi pelajaran berharga buat kita semua.

Jadi Golput
Harus kita akui, kesalahan 4 tahun lalu itu, letaknya bukan semata pada mereka, tapi juga pada kecerobohan kita-kita dalam memilih, kelemahan sistem pemilihan, serta keluguan kita memahami sistem pemilihan. Itulah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh sepupu lain kali kita. Lalu kita kecewa, kita menyesal. Itu sudah lebih dari cukup.
Karena itu, jika pemilu nanti masih akan diisi oleh beberapa diantara mereka yang mengecewakan, dan jika sistem masih cenderung menguntungkan beberapa diantara mereka yang sudah tidak lagi dapat kita harapkan, maka pilihan yang cerdas adalah menjadi golput. Jika sistem pemilu ini masih memberi celah yang lebih besar kepada caleg-caleg busuk, maka pilihan cerdas buat kita adalah mencoblos semua gambar, atau tidak mencoblos sebuah gambar pun. Pilihan cerdas lain : Jangan datang ke TPS. Okey?
Akhirnya, mari kita gembok rapat-rapat pintu rumah kita untuk sepupu yang arogan. Kita gembok pintu hati dan pintu rumah kita untuk politisi busuk. Bukan saatnya lagi memilih caleg yang maunya hanya terima pendapatan, tapi tidak mau terima saran dan pendapat. Iyya tho...? Atau, masih adakah cara yang lebih cerdas menurut Anda? Hemmh...., Geco’ memammi sampuuu...!!

===============
*) Opini ini dimuat di Harian Suara Sawerigading pada Bulan Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar