Oleh : Ashari Thamrin M
Ujian Nasional (UN) adalah salah satu bentuk evaluasi dari sekian banyak bentuk-bentuk evaluasi lainnya. Evaluasi itu sendiri mencakup makna pengukuran dan penilaian. Evaluasi tidak sekedar berfungsi untuk mengetahui kemampuan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok, tetapi evaluasi bertujuan melakukan penilaian total terhadap pelaksanaan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan (Arikunto, 2001:3). Karena itu, kelulusan sejumlah siswa dalam UN adalah keberhasilan semua unsur terkait (stake holders). Sebaliknya, kegagalan sejumlah siswa dalam UN adalah kegagalan semua unsur terkait.
Untuk itulah UN diselenggarakan. UN merupakan bentuk evaluasi yang memiliki sejumlah sasaran penting. Selain untuk menentukan kelulusan siswa, juga untuk mengukur kompetensi guru serta tolok ukur untuk menilai mutu sebuah sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Dari sejumlah sasaran itu, Standar Mutu Pendidikan Nasional pun juga ikut terukur.
Monitoring Kompetensi Guru
Jika selama ini titik berat pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan UN hanya menyorot tajam tingkat kelulusan siswa, kali ini pandangan bisa juga dialihkan untuk monitoring dan mendeteksi kompetensi guru. Mengapa kompetensi guru harus dideteksi? Alasannya adalah karena negara telah memberi intensif berupa tunjangan sertifikasi kepada sejumlah guru yang dianggap profesional melalui uji kompetensi. Negara memberi intensif seperti itu, tentu mengharapkan timbal balik yang setara dari guru-guru yang telah diberi intensif. Apa gunanya negara memberi tunjangan jika ternyata guru-guru tidak mampu menunjukkan kompetensinya? Semoga para guru yang telah mendapat tunjangan menyadari hal ini.
Cara sederhana untuk menentukan tingkat kompetensi guru sebagai agen pembelajaran adalah menggunakan metode ”voting” 50 plus 1 dan 50 minus 1. Misalnya UN Bahasa Inggris. Jika tingkat kelulusan peserta ujian untuk Mata pelajaran bahasa Inggris sebanyak 50% plus satu, berarti guru bahasa Inggris yang mengajar komunitas siswa tersebut dapat dinyatakan kompeten. Artinya, guru yang bersangkutan telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran dan dibebaskan dari tudingan sebagai biang kegagalan. Adapun sejumlah siswa yang tidak lulus harus mengkoreksi diri sendiri bahwa sejatinya merekalah yang gagal.
Sebaliknya, jika hasil kelulusan untuk Bahasa Inggris adalah 50% minus satu, berarti guru yag mengajar komunitas siswa tersebut belum dapat dikatakan kompeten. Konsekuensinya, guru bersangkutan harus mengakui diri bahwa dia tidak kompeten dan harus rela turun peringkat mengajar di kelas yang lebih rendah. Sekolah dan komite sekolah boleh merundingkan sikap yang akan diberlakukan terhadap guru yang bersangkutan.
Dengan bahasa sederhana, jika hanya 1 atau 2 orang saja dari sekian ribu siswa peserta ujian yang tidak lulus, maka orang tua siswa harus tahu malu untuk menuding guru sebagai biang kegagalan. Sebaliknya, jika hanya 1 atau 2 orang saja siswa yang lulus diantara ribuan peserta ujian, maka guru harus tahu malu. Kalau perlu, sembunyikan muka kalian. Mintalah ke Dinas Pendidikan agar diberi mutasi ke sebuah sekolah di daerah pedalaman.
Sayangnya, UN hanya dapat menjadi alat deteksi untuk guru-guru pada kelas 6 SD kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA/SMK. Itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran tertentu yang di UN-kan ditambah 3 buah lagi Mata Pelajaran untuk Ujian Sekolah (US)-kan. Padahal masih lebih banyak guru-guru yang telah mendapat tunjangan, tidak mengajar di kelas yang siswanya mengikuti ujian. Mereka semua juga perlu dideteksi sejauh mana kompetensi mereka.
Karena itu, program setiap sekolah ke depan, sebaiknya memberi prioritas kepada guru-guru senior yang telah mendapat tunjangan sertifikasi, untuk mengajar di kelas 3 SMP/SMA pada 6 Mata Pelajaran yang diujikan itu. Ini untuk menunjukkan pada dunia seberapa besar tingkat kompetensi guru-guru tersebut. It’s show time for the teachers. Buktikanlah, bahwa Anda para guru senior, memang pantas disebut kompeten dan layak mendapat tunjangan. Jangan sampai negara membayar tunjangan kepada para guru senior, namun ternyata kompetensi mereka minor.
Indikasi Kecurangan, Perketat Pengawasan
Menyadari pentingnya sasaran pelaksanaan UN dan US, maka pelaksanaannya pun harus terselenggara dengan baik. Pengawasan pelaksanaannya pun perlu diperketat, karena selama ini disinyalir terdapat indikasi praktek-praktek kecurangan dalam UN dan US oleh sekolah dan guru di setiap pelaksanaannya.
Demi mendapat penilaian sebagai sekolah bermutu dan demi membuktikan diri sebagai guru yang kompeten, tidak jarang pihak sekolah beserta gurunya mengambil jalan pintas dengan memberi bantuan kepada para peserta ujian. Bentuk bantuan itu dapat berupa pemberian jawaban kepada peserta ujian saat ujian berlangsung, atau juga dengan mengoreksi jawaban para siswa sesaat setelah ujian selesai. Praktek kecurangan semacam ini telah menjadi rahasia umum dalam dunia pendidikan nasional kita.
Sadar atau tidak, siapapun yang melakukan praktek semacam ini, berarti telah menodai dunia pendidikan kita. Bagaimana bisa mengukur standar pendidikan nasional, menilai mutu sejati sebuah sekolah, mengukur kompetensi sejati seorang guru, serta menentukan kelulusan murni tiap-tiap siswa, jika yang menjawab soal-soal ujian ternyata para guru?
Kecurangan sekolah dan guru saat UN dan US adalah pengkhianatan terhadap amanah UUD 1945, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga melanggar kompetensi kepribadian guru itu sendiri sebagai pribadi yang pantas untuk diteladani. Pantaskah seorang guru dijadikan teladan jika kerap melakukan kecurangan? Tentu saja tidak!
Menentukan Biang Kegagalan
Saat penentuan Ujian Akhir, saling tuding dan lempar kesalahan atas sejumlah siswa yang tidak lulus, telah menjadi pemandangan umum tahunan di semua tempat di seluruh Indonesia. Guru menuding, bahwa siswalah yang bodoh. Sebaliknya, siswa dan orang tua menuding bahwa gurulah yang tidak becus. Kenapa ini bisa terjadi? Siapakah sejatinya yang salah jika siswa tidak lulus ujian?
Saling lempar kesalahan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Hal seperti ini terjadi karena selama ini kita tidak menjalankan fungsi evaluasi sebagai barometer menentukan tingkat kesuksesan dan kegagalan. Membuktikan apa dan siapa sejatinya yang salah serta di mana letak kesalahannya adalah bentuk evaluasi yang lain. Ini sangat perlu dilakukan untuk bahan referensi menapak langkah perbaikan ke depan.
Kebanyakan orang hanya pintar menilai, mengukur dan mengevaluasi orang lain, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Setiap orang boleh-boleh saja mengoreksi dan mengkritisi orang lain. Namun koreksi dan kritisi yang tidak dilandasi bukti, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Dengan mendeteksi kompetensi guru melalui sejumlah kelulusan yang diraih peserta didiknya, seperti yang digambarkan di atas, saling tuding dan lempar kesalahan antara guru dan orangtua mudah-mudahan dapat dieliminir. Tak perlu lagi guru menuding bahwa siswalah yang bodoh sehingga mereka tidak lulus.. Sebaliknya, orang tua siswa juga tidak perlu menuding guru yang tidak becus.
Setidaknya, semua pihak harus mengetahui dan mengukur diri masing-masing. Semua pihak harus mengoreksi dan mengkritisi diri sendiri. Guru juga manusia. Siswa pun juga manusia. Tak seorang pun yang luput dari kesalahan. Ini sudah menjadi sifat dasar setiap manusia. Hanya Malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah, dan hanya setan yang tidak pernah berbuat benar.
Metode penentuan salah dan benar seperti ini tentu jauh dari ideal. Metode yang ideal adalah win-win sollution. Namun metode seperti digambarkan di atas mungkin lebih adil ketimbang saling tuding dan lempar kesalahan. Mencari kambing hitam dan menuding orang lain sebagai biang kegagalan adalah langkah yang paling efektif untuk mengamankan diri sendiri.
Tapi siapakah yang sudi dijadikan kambing hitam? Tidak seorang pun! Terlebih jika yang tertuduh sebagai biang kegagalan dapat membuktikan diri bahwa bukan dia biangnya. Ingat kata pepatah : “Buruk Muka Cermin Dibelah”. Dia yang bego, koq orang lain yang disalahkan?? (end).
=============
*) Opini Harian Suara Sawerigading, 22 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar