Oleh: Ashari Thamrin M
9 (sembilan) balon 01 dan 11 (sebelas) balon 02, di Kab. Luwu (Suwer,26/03/08), menggenapi 4 pasangan defenitif yang akan memperebutkan 01 dan 02 di Kota Palopo. Beragamnya latar belakang balon dan calon, akan merubah Pilkada di dua daerah menjadi semacam kontes kejuaran, dan akan menyita konsentrasi sebagian besar warganya.
Para Kontestan itu tidak tanggung-tanggung. Mereka membawa sederet gelar yang mereka sandang, mulai dari Professor hingga minimal S2, Gelar TNI maupun Sipil. Hanya ada satu tekad, merebut gelar juara yang sebentar lagi lowong. Juara bertahan akan melepas gelarnya, dan maju kembali dalam kontes (incumbent).
Tentu saja, mereka tak lupa membawa sejumlah dana, baik dana pribadi maupun dana sponsor. Untuk apa? Ah, mengerti sajalah, sekarang mana ada yang gratis? Mereka akan membayar beberapa hal, kendati nantinya mereka akan kampanye yang serba gratis. Pendidikan gratis lah, kesehatan gratis lah, dan entah apalagi yang akan di gratis kan.
Pemimpinkah yang akan kita pilih? Jangan mimpi. Rame-rame melamar ke Parpol sebagai kandidat 01 atau 02, dan bukan dilamar oleh parpol, menjadi pembuktian bahwa kursi 01 atau 02 memang sangat diminati oleh beberapa kalangan. Sekaligus cukup menjadi pembuktian bahwa tidak ada lagi pemimpin sejati. The true leader has been dead. Pemimpin sejati itu sudah lama mati.
Kenapa? Alih-alih membayar puluhan milyar rupiah untuk sebuah kursi kepemimpinan, seorang pemimpin sejati tidak pernah meminta untuk memimpin, Dialah yang diminta oleh ummat untuk menduduki kursi kepemimpinan. Para kandidat dengan sederet gelar itu, pastinya lebih paham tentang kepemimpinan sejati ketimbang saya. Alasannya, saya hanya mengandalkan sebuah Kisah dari Umar Ibn Azis dari sebuah majalah, sementara para kandidat itu pastinya memiliki rujukan semisal 100 tokohnya Michael Hart, Seven Habitnya Stepehen R. Covey, atau juga ESQ nya Ari Ginanjar.
Lalu siapakah yang akan kita pilih? Secara de jure (legalitas hukum) di Indonesia, kita akan memilih 2 pasang Kepala Daerah, sepasang di Kota Palopo dan sepasang lagi di Kab. Luwu. Namun secara de Fakto, jika kita amati dengan seksama, (Mohon ma’af), sejatinya kita tak ubahnya memilih “dewa judi”.
Kenapa begitu? Lihatlah para kandidat kita, masing-masing menganggarkan dan mempertaruhkan dana kampanye Milyaran rupiah untuk meraih kemenangan. Dari sekian banyak pasangan, hanya ada sepasang pemenang untuk satu daerah. Jumlah kandidat yang kalah jelas lebih banyak. Yang kalah akan kehilangan dana kampanye. Jumlahnya milyaran rupiah dan tak akan mendapat ganti apa-apa, kecuali sebuah catatan sejarah, bahwa mereka juga pernah ikut sebagai kontestan dalam sebuah Pilkada, dan mereka kalah dengan kosekuensi kehilangan sekian Milyar. Ya, konsekuensi bagi yang kalah.
Yang menang, juga akan kehilangan dana kampanye. Namun, serta merta akan mendapat ganti rugi yang lebih besar. Mungkin 2 kali, 3 kali atau sampai 10 kali lipat selama rentang waktu 5 tahun ke depan.
Kira-kira seperti itulah sistem suksesi yang kita miliki sekarang ini. Mirip sebuah arena perjudian. Harus ada yang kalah dan harus ada yang dikalahkan. Tak ada win-win solution. Akibat Pilkada, Indonesia serta merta berubah wujud menjadi LAS VEGAS kedua di luar Amerika Serikat. Bentuk perjudiannya memang tidak menggunakan kartu atau koin, tapi dengan kertas suara.
Nampaknya, tak seorang pun balon atau calon yang memikirkan bagaimana mengalihkan dana kampanye sebanyak itu untuk pembangunan dan perbaikan infrastuktur jalan, jembatan, listrik, sekolah atau puskesmas, yang nyata-nyata sangat menyentuh hajat orang banyak. Mungkin karena mereka sama berpikir, bahwa itu adalah tanggung jawab pemenang Pilkada. Iyalah, pemikiran penuh tendensi, suatu pembuktian lagi bahwa memang tak ada lagi pemimpin sejati. Yang ada cuma impian-impian sejati dan kepentingan-kepentingan sejati dari para pemimpi-pemimpi sejati yang mengidamkam duduk di atas kursi.
Tapi, tak perlu disesali, karena sistem suksesi seperti inilah yang kita kehendaki. Wajar, karena kita mengadopsinya dari Negara sekuler yang melegalkan perjudian. So, nikmati saja pertaruhan ini. Mari memilih dewa judi, sembari menanti azab dari Ilahi Rabbi.
=================
*) Opini ini dimuat di harian Suara Sawerigading 27 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar