Penulis : Ashari Thamrin M, SS.
Kalimat apa sepantasnya diucapkan sepasang kandidat pemenang pilkada? Alhamdulillah atau Innalillah? Jika Anda sempat menonton Telewicara Tv1 dengan Dede Yusuf saat penentuan pemenang pilkada Jawa Barat beberapa waktu lalu, terasa benar kebingungan dan kecanggungan Dede, entah harus mengucapkan yang mana. Saat didesak pembawa acara TV1 harus bilang apa, Ia akhirnya memilih mengucapkan Innalillah.
Kenapa Dede harus bingung dan canggung? Dede paham betul bahwa dalam ajaran Islam, jabatan adalah amanah, dan amanah merupakan titipan, dan titipan merupakan beban. Jika ternyata seseorang tidak sanggup memikul beban maka beban itu dapat jatuh dan menimpa pemikulnya sehingga berubah menjadi sebuah musibah. Dede sangat memahami premis itu. Namun Ironisnya, Dede menginginkan jabatan itu, Amanah itu, titipan itu dan beban itu. Itulah makanya Ia memilih mengucapkan Innalillah. Tapi Ia juga tidak mampu menipu diri sendiri. Getaran suara dan kecanggungan Dede saat mengucapkan kalimat Innalillah menjadi indikasi bahwa Ia mengingkari hati nuraninya. Sebagai pemenang pilkada, Dede mendapatkan sebuah jabatan, wakil gubernur Jawa Barat. Wow, sebuah jabatan yang dianggap nikmat dan menjadi impian banyak orang. Kini jabatan itu jatuh ke tangan Dede dan pasangannya. Karenanya, meski bibir Dede mengucapkan Innalillah, tapi dalam hati ia mengucapkan Alhamdulillah.
Makna Jabatan
Dalam Kamus Bahasa Arab (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, hal 215), kata Amanah dapat berbentuk kata sifat yang berarti jujur atau dapat dipercaya. Lawan katanya adalah Khianat atau tidak dapat dipercaya. Selain itu ada juga kata Amanah yang berbentuk kata benda yang artinya titipan dan beban. Kata amanah yang merujuk kepada sosok manusia lebih cocok diartikan jujur atau dapat dipercaya. Adapun kata Amanah yang merujuk pada suatu benda, lebih cocok diartikan sebagai titipan dan beban. Dengan demikian, Jika jabatan dimaknai sebagai Amanah, maka dapat juga dimaknai sebagai titipan dan beban.
Kendati ada yang berbentuk kata sifat dan kata benda, namun kedua bentuk makna amanah itu bagaikan 2 (dua) sisi mata uang. Ketika Amanah merujuk pada sosok manusia, maka sosok yang disebut amanah itu adalah orang yang jujur atau dapat dipercaya. Olehnya itu, ia dapat diberi titipan karena tidak dikuatirkan khianat. Dan ketika Amanah merujuk kepada sebuah benda, maka benda itu berstatus titipan. Sebuah titipan selayaknya diberi hanya kepada orang yang Amanah, sehingga tidak dikuatirkan titipan itu dikurangi atau diutak-atik. Kurang lebih seperti itulah bentuk sinergi makna kata Amanah dalam kata sifat dan kata benda itu.
Al-Qur’an memuat kata Amanah dalam 8 (delapan) ayat. Salah satu ayat tentang Amanah yang dapat kita kaitkan dengan Jabatan adalah Surah Al-Ahzab Ayat 72. Terjemahannya sebagai berikut : “Sesungguhnya Kami Telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Ibnu Katsir memaknai amanah sebagai ketaatan atau kepatuhan. Fakhrur Razi di dalam Tafsîr Al-Kabîr memaknainya sebagai beban. Abdullah Yusuf Ali menyatakan bahwa kata-kata langit, bumi, dan gunung-gunung pada ayat tersebut mengandung makna simbolik. Maksudnya, untuk memberi bayangan bahwa amanah itu adalah beban yang amat berat, sehingga benda-benda yang cukup kuat serta teguh sekalipun, tidak sanggup menanggung dan memikulnya. Mufassir lain menerjemahkan kata amanah dalam ayat tersebut sebagai penjelasan al-Baqarah ayat 30, tentang Jabatan manusia sebagai Khalifah di muka bumi.
Disamping itu, Al-ahzab Ayat 72 juga memberi gambaran tentang ”Praktek Pemenuhan Amanah”. Ayat tersebut memberi gambaran bahwa dalam prosesnya, praktek pemenuhan Amanah merupakan penawaran dari calon pemberi Amanah kepada calon penerima Amanah. Dalam proses itu, pemberi amanah bertindak sebagai Subjek dan memainkan peran proaktif. Sementara penerima Amanah bertindak sebagai Objek dan memainkan peran yang reaktif. Bukan sebaliknya.
Jabatan Politis
Berkaca pada pengertian Amanah di atas serta praktek pemenuhan jabatan pada surah al-Ahzab ayat 72, maka dapat dikatakan bahwa jabatan politis telah mengalami pergeseran makna. Pergeseran itu memang tidak tercatat dalam kamus, tapi terjadi dalam praktik pemenuhannya. Itu dikarenakan jabatan Politis saat ini bukanlah penawaran dari Subjek pemberi jabatan (rakyat) kepada Objek penerima jabatan (pejabat). Mekanisme pemilu langsung (Pilpres dan Pilkada) telah mengubah status jabatan-jabatan politis seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dari status Amanah menjadi sebuah Job Opportunity (Lowongan Kerja). Calon Kepala Daerah dan calon Kepala Negara melamar jabatan itu dari rakyat, dan bukan rakyat menawarkan jabatan itu kepada calon. Lebih dari itu, para calon juga mengeluarkan dana milyaran demi meraih jabatan itu, hingga terkesan membeli jabatan itu Jelas sekali praktek seperti ini tidak bermakna amanah. Sebab, Amanah is Not for Sale (Amanah bukan barang dagangan).
Selain itu, Objek penerima Amanah pada jabatan politis dapat dipenuhi oleh siapa saja dan dari latar belakang mana saja, termasuk sosok yang belum tentu Amanah. Mekanisme pemilu langsung telah membuat semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politis. Entah itu calon yang benar-benar Amanah ataukah calon itu hanya merasa diri (sok) Amanah. Jika lihai memainkan kartu politiknya, seorang pembajak yang sok amanah dapat saja terpilih menjadi pemenang dan otomatis menduduki jabatan. Sangat tidak lucu jika hal ini terjadi. Sebuah Amanah (titipan) dititipkan kepada seorang pembajak, tentu saja titipan itu akan habis dibajak. Faktor-faktor inilah yang menggugurkan makna Jabatan politis sebagai Amanah, dan ini pula resiko besar yang harus kita tanggung bersama atas nama demokrasi.
Sebuah hadis meriwayatkan: “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Sahabat bertanya: “Bagaimana mensia-siakannya?” Rasulullah menjawab: “Apabila suatu jabatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (H.R Bukhari).
Menyikapi Kemenangan
Uraian pergeseran makna jabatan sebagai amanah beserta praktek pemenuhannya di atas dapat menjadi referensi bagi sepasang pemenang pilkada dalam menyikapi kemenangannya. Sepasang pemenang pilkada tidak perlu munafik. Juga tidak perlu bingung dan canggung memilih ucapan, apakah Alhamdulillah atau Innalillah. Ucapkan saja alhamdulillah, sekalian sujud syukur, bikin pesta kemenangan, potong sapi atau kerbau, undang semua pendukung.
Sepasang pemenang pilkada tidak perlu pura-pura bilang Innalillah, sebab maknanya akan jadi rancu. Toh, semua sudah jelas. Jabatan politis sudah mengalami pergeseran status. Apalagi pemenang pilkada memang menginginkan jabatan itu dan telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk meraih kemenangan. Karena itu, pengucapan Innalillah oleh pemenang pilkada justru akan mempertontonkan komedi kemunafikan yang dapat membuat orang tersenyum sinis.
Yang terpenting adalah jangan lupa diri, sebab jabatan itu juga merupakan sebuah beban. Kalau lutut sudah gemetaran tanda tak sanggup memikul beban, baiknya undur diri, biar semua orang bisa bantu. Jangan gengsi undur diri, karena nanti tertimpa beban. Sudah banyak bukti di negeri ini, pejabat yang tak sanggup memikul beban namun gengsi undur diri, akhirnya masuk bui. INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJIUN.
===============
*)Opini ini dimuat di harian Suara Sawerigading pada bulan Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar