Oleh Ashari Thamrin M
Dalam Surah Al-Baqarah (183) Allah SWT berfirman yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa”.
Kata dasar Taqwa adalah Quwaa, yang artinya kuat. yang diberi prefix Ta yang artinya menjadi, sehingga makna Taqwa itu adalah menjadi kuat. Boleh jadi anda tertawa terbahak-bahak setelah memahami makna Taqwa ini, berbanding taqwa sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam berpuasa. Jelas ironi, mengingat puasa itu menahan diri dari makan dan minum selama 13 jam. Bagaimana mungkin “menjadi kuat” (taqwa) dalam kondisi demikian?
Mahluk Evolusi
Sejatinya, manusia adalah makhluk rohani yang terjebak dalam raga hewani. Dari sisi rohani manusia satu spesies dengan malaikat dan jin. Namun dari sisi ragawi, boleh jadi manusia memang keturunan kera Cro-Magnon, hasil evolusi dari Pithecantropus. Inilah keunikan manusia dibanding mahluk hidup lainnya. Manusia memiliki kebutuhan biologis (jasmani) sebagaimana hewan, sekaligus memiliki kebutuhan psikologis (rohani) yang masing-masing harus dipenuhi.
Jelas Anda keliru jika menganggap yang ingin “dijadikan kuat” dalam berpuasa itu sisi biologis/jasmani/ragawi/hewani dari manusia. Porsi penguatan jasmani telah dilakukan selama sebelas bulan. Selama itu pula, jasmani menekan dan mendominasi rohani hingga kadang tidak terpenuhi kebutuhannya, dan menjadi lemah serta kurus kerontang.
Kini giliran sisi rohani mendapatkan kebutuhannya. Dengan menahan haus dan lapar mulai jam setengah lima subuh hingga jam enam sore, dikali 29 atau 30 hari secara berturut-turut, kita menekan dominasi jasmani untuk memberi ruang gerak pada rohani memenuhi kebutuhannya. Tapi bukankah ini sebuah penyiksaan?
Tidak salah jika Anda berasumsi bahwa puasa itu sebuah penyiksaan. Secara pribadi, saya justru kurang sependapat jika ada kalangan yang ingin mengaburkan puasa sebagai suatu penyiksaan. Kita semua tidak dapat menyangkali hal itu! Makanya, banyak diantara kita mencari berbagai cara agar dalam melaksanakan puasa tidak begitu merasakan siksaan lapar dan dahaga tersebut. Ada yang mengubah pola makan dengan cara memenuhi perut sampai benar-benar buncit, minum tablet untuk vitalitas dan daya tahan tubuh, hingga minum obat tidur dari imzak hingga berbuka puasa.
Okelah. Kita tidak bisa menyangkal bahwa puasa adalah penyiksaan. Lalu apa rasionalisasi di balik penyiksaan itu? Itulah yang membuktikan, betapa sayangnya mahluk yang bernama manusia itu akan hal-hal yang materil, kasat mata, jasmaniah, atau ragawi. Hal-hal yang justru akan hancur lebur, seiring bergulirnya waktu. Kebanyakan kita tidak menyayangi hal-hal yang immaterial, atau rohani kita. Hal yang tak lekang ditelan waktu, tak hancur dibakar api.
Hanya sedikit dari kita yang benar-benar rela merasakan siksaaan lapar dan dahaga. Padahal, justru dengan merasakan siksaan puasa itulah hikmah (rasionalisasi) puasa yang sejati dapat dipahami. Puasa memang sebuah penyiksaan, tapi bukan penyiksaan sejati. Ini hanyalah sebuah proyeksi dengan “zoom 1%” dari penyiksaan sejati yang telah menanti setiap anak manusia di pintu kubur, bila ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Penghuni Kubur
Sayang sekali, dari sekian milyar anak manusia yang pernah hidup di muka bumi dan kini telah mati, tak seorang pun di antara mereka kembali kepada kita bercerita tentang apa yang mereka alami di alam sana. Sungguh, kita penasaran.
Kita semua sangat merindukan mereka, terutama orang-orang yang kita kasihi, yang kini tubuhnya telah hancur berbaur dengan tanah. Mereka semua tak pernah kembali, entah mereka betah di alam sana atau tidak.
Kita ingin tahu, cukupkah persediaan makanan dan minuman mereka di alam sana? Adakah warung, kedai, cafe atau restaurant yang dapat disinggahi untuk melepas lapar dan dahaga di alam sana? Demikian pula Kita ingin mengatakan kepada mereka, kita semua umat muslim di dunia saat ini sedang berpuasa. Kita semua punya cukup persediaan makanan dan minuman, tapi kita rela tersiksa menahan lapar dan haus demi mencapai Taqwa (Kekuatan Iman).
Kita rela, karena kita sangat takut. Dalam hati kecil, lebih baik menahan lapar dan haus di dunia ini 30 hari di setiap tahun sepanjang umur kita, ketimbang nanti di alam sana, saat kita menyusul, kita menanggung lapar dan dahaga sepanjang masa kematian kita yang lebih panjang daripada masa hidup kita. Astagfirullah…!!
Kita pun penasaran dengan keadaan Adolf Hitler di alam sana. Ia yang hidup 56 tahun (1889-1945) telah memasuki usia kematian selama 63 tahun, sudah lebih lama daripada masa hidupnya. Kita penasaran dengan keadaan penjagal 35 juta ummat manusia dalam Perang Dunia II itu, sama penasarannya kita dengan keadaan Namrud, Fir’aun dan semua Kriminal beken sepanjang sejarah. Kita juga penasaran dengan keadaan para pemimpin kita di alam sana. Soeharto, Soekarno dan lain-lain. Kelihatannya, mereka semua itu betah berada di alam sana?
Efek Jera
Pernah Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, "Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. Ketahuilah, kemuliaan seorang mukmin tergantung shalat malamnya dan kehormatannya tergantung dari ketidakbutuhannya kepada orang lain." (HR. Ath-Thabrani)
Nabi pun pernah berkata, “Robbku (Tuhanku) menawarkan kepadaku untuk menjadikan lembah Mekah seluruhnya emas. Aku menjawab, "Jangan ya Allah, aku ingin satu hari kenyang dan satu hari lapar. Apabila aku lapar aku akan memohon dan ingat kepada-Mu dan bila kenyang aku akan bertahmid dan bersyukur kepada-Mu." (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Ia pun pernah berkata :”Orang yang paling kenyang makan di dunia akan menjadi paling lama lapar pada hari kiamat. (HR. Al Hakim). Naudzubillah….!!
Sebuah kisah tentang seorang Raja. Ia tersesat di Padang Pasir selama sehari semalam dalam kondisi cuaca yang amat panas. Selama itu Ia tidak makan dan tidak minum. Dalam hati ia berjanji, akan memberi seperdua kerajaannya kepada siapapun yang dapat memberinya segelas air. Lewatlah seorang musafir. Tapi sang musafir juga hanya memiliki segelas air untuk dirinya sendiri. Raja pun bernego, Ia akan memberikan seluruh kerajaannya jika ia mau memberi segelas air. Musafir ngotot, untuk apa kerajaan itu kalau ia pun terancam mati kehausan. Tapi sang Raja betul-betul butuh air tersebut untuk menyelamatkan hidupnya. Ia pun menawar kembali air tersebut setengah gelas dibarter dengan seluruh kerajaannya. Akhirnya, kesepakatan tercapai, dan Anda sudah dapat menebak akhir ceritanya. Sang Musafir jadi Raja, hanya lantaran setengah gelas air.
Menahan siksaan Puasa dapat menimbulkan efek jera (Taubat), yaitu rasa sesal yang tiada tara dan rasa takut yang sangat mengerikan, berbaur dengan ketergantungan dan pengharapan yang setinggi-tingginya agar mendapatkan pertolongan. Kondisi Rohani seperti itu hanya dapat timbul jika kita merelakan diri kita didera oleh lapar dan dahaga. Bayangkanlah, bagaimana jadinya jika kondisi lemah itu mendera Anda di suatu tempat yang asing. Tempat di mana hanya ada seorang yang memiliki makanan dan minuman. Tempat yang hanya kepada orang tersebut kita mengharap pertolongan. Seperti itulah kondisi di alam sana (Alam Kubur dan Padang Mahsyar). Tempat di mana hanya Allah yang mampu memberi pertolongan.
Karena itu, relakanlah lapar dan dahaga mendera dan menyiksa Anda selama 30 hari ini, agar tercapai tujuan Puasa pada diri Anda, yakni menjadi kuat iman Anda (Taqwa) hanya kepada Allah SWT. Amin, ya Rabbal Alamiin!
=============
*) Opini Suara Sawerigading September 2008
Ga ada yang masuk di akal gue. Semua di luar logika . Wkwk
BalasHapus