Oleh Ashari Thamrin M
Begitu mudah mengucapkan Taqwa, tapi begitu sulit memahami makna sejatinya. Belum lagi melaksanakannya. Banyak kalangan ulama/udztaz merekomendasikan, bahwa makna Taqwa setara atau sama artinya dengan (rasa) takut. Sebagiannya lagi memaknai taqwa “melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya”.
Banyaknya defenisi dan Intensitas pelafalan tentang Taqwa, jelas akan membingungkan. Konsekuensinya, makna taqwa akan kabur atau bahkan menjadi sekadar pemanis bibir, atau tidak bermakna sama sekali.
Karena itulah, Rekonstruksi makna Taqwa perlu dilakukan, mengingat kata yang satu ini tidak pernah sepi pemakaian. Urusan “Bertaqwa” kepada Tuhan yang Maha Esa menjadi syarat utama bagi seorang pejabat menduduki jabatan. Shalat Jumat tidak sah jika Khatib tidak mengajak untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Dan memasuki bulan Ramadhan, kuantitas pemakaian kata Taqwa semakin menunjukkan intensitasnya. Itu karena tujuan puasa bagi orang-orang beriman yang melaksanakannya, agar dapat mencapai Taqwa.
Jadi Apa makna sejati dari Taqwa? Apa benar Taqwa itu sama artinya dengan takut? Bagaimana pula hingga kata taqwa itu didefenisikan sebagai “melakukan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Apa mungkin makna taqwa itu telah “dipelintir”?. Tulisan berikut ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rekonstruksi Etimologi
Kalau kita masih menghargai bahwa asal-usul kata ini berasal dari bahasa Arab, maka seharusnya huruf Q pada kata Taqwa tidak diganti dengan K, hingga menjadi Takwa. Sebab, dari bahasa aslinya, kata ini memakai huruf Ta-Qaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Dan bukan Ta-Kaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Itu koreksi pertama, dari segi fonologi.
Taqwa, dan bukan Takwa.
Rekonstruksi Morfologi
Sejatinya, kata Taqwa itu bukanlah kata dasar. Tapi ia adalah bentuk turunan dari kata sifat “Quwaa” (Qaf-Waw-Ya) atau “Qawiyyun” yang artinya kuat. Huruf Ya pada kata Quwaa adalah alif Maqsurah -Ya tanpa 2 titik- yang berfungsi sebagai vocal panjang (long vowel).
Kata “Quwaa” (kuat : kata sifat) ini mendapat prefix Ta. Prefix ini sendiri jika diasimilasi (dilebur) dengan kata sifat, membentuk makna “menjadi”. Peleburan prefix Ta (menjadi) dengan kata Quwaa (Kuat), membentuk kata TAQWA. Dengan demikian -secara morfologis- makna kata TAQWA adalah “Menjadi Kuat” atau “menguat-(kan)”, atau “memperkuat” atau “penguatan”. Attabik Ali dalam kamus bahasa Arabnya mencantumkan makna lain : “Menjadi Berani”.
Proses asimilasi yang sama dapat pula dilakukan pada kata-kata sifat yang lain. Contoh kata: “Kabiir” (besar), jika diberi prefix “Ta”, maka berubah menjadi “TAKBIR”. Artinya adalah “menjadi besar” atau “membesar-(kan)”. “Qaliil” (sedikit) + prefix Ta menjadi Taqliil, yang artinya menjadi sedikit atau mereduksi atau pereduksian.
Redefenisi
Jadi benarkah kalau taqwa itu sejajar maknanya dengan takut? Penelusuran makna Taqwa –dari segi linguistic- di atas menggambarkan kata taqwa sangat jauh kekerabatannya dari kata takut. Bahkan samasekali tidak ada kekerabatan. Kata “takut” pada bahasa Arab (dalam Kamus dan dalam al-Qur’an) ada 2, yaitu Khaafa/Khauf dan Khasya.
Dalam al-Qur’an, Takut (Khaafa/Khauf-Yakhaafu) dapat anda temukan pada QS. Al-An’am: 51, dan Takut (Khasya-Yakhsya) pada QS. Annur:52. Perbedaan makna Takwa dan Takut jelas sekali digambarkan pada QS. Luqman:33, juga QS. An-Nur:52.
Pertanyaannya sekarang, kalau taqwa itu berarti “menjadi kuat”, lalu apa yang menjadi kuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mendapatkan bantuan Sintaksis dari teksbook atau naskah. Teksbook atau naskah terbaik untuk tujuan itu adalah Kitab Suci al-Qur’an. 3 buah terjemahan ayat berikut, dapat mengantar pemahaman kita ke arah tersebut.
(QS. Al-Baqarah:177) “……Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah:183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(QS. Al-Hasyr : 18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ada ratusan ayat dalam Al-Qur’an yang berisi seruan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa. Tiga kutipan terjemahan di atas cukup menggambarkan hal tersebut. Apa rasionalisasi semua itu?
Ayat suci al-Qur’an yang memuat kalimat seruan “Hai orang-orang yang beriman”, dan kemudian diikuti dengan seruan “Bertaqwalah”, menjadi fenomena logis yang mengantar pada kesimpulan logis, bahwa kronologi kompetensi rohani –yang berdampak pada kompetensi jasmani/gerak-gerik perilaku- ummat Islam adalah dari beriman menjadi taqwa. Beriman adalah percaya. Sedangkan Taqwa/bertaqwa adalah melakukan aktifitas menguatkan keimanan/kepercayaan. Silahkan Anda buka Al-Qur’an dan simak kembali tiga (terjemahan) ayat di atas.
Pemahaman yang lebih jelas dapat diperoleh Pada QS. Asy-Syu’araa. Pada Surah tersebut terdapat pertanyaan: “Mengapakah kamu tidak bertaqwa”, yang diulang sebanyak 5 kali. Pertanyaan tersebut di dahului dengan kata “mendustakan” yang juga diulang sebanyak 5 kali.
Mendustakan adalah tidak mempercayai atau tidak mengimani. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dikatakan taqwa itu adalah kegiatan penguatan/menguatkan keimanan (kepercayaan), dan melemahkan pendustaan (ketidakpercayaan) atas eksistensi Allah SWT. Dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut diberi gelar orang-orang yang bertaqwa (Muttaqiin).
Lalu kenapa ada kalangan yang memaknai taqwa dengan takut? Jelas, ini diluar pembahasan linguistic. Boleh jadi, pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa (rasa) takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Jadi telah menjalani proses pemaknaan yang panjang, dan proses pemaknaan itu bukan secara linguistic tapi secara psikologis.
Bagaimana pula Kata Taqwa itu sehingga dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Ini pun di luar pembahasan linguistic. Atau, kalau pun masuk pembahasan linguistic, berarti masuk dalam pembahasan semantic yang sangat panjang.
Yang jelas, Orang yang melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya belum tentu taqwa. Tapi sebaliknya, orang yang taqwa sudah jelas melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Apa perbedaannya? Ikuti penjelasannya pada bagian 2 dari tulisan ini.
==============
*) Opini Palopo Pos, 1 Agustus 2008
Subhanalloh....
BalasHapusYa Kariim... Bagian 2 nya sangat dinanti. Barokallohu fiik
BalasHapusYa Kariim... Bagian 2 nya sangat dinanti. Barokallohu fiik
BalasHapusAnda salah dalam mengambil kata dasar, taqwa berasal dari kata dasar wa qo ya, kesalahan ini jadi menjauhkan ke arti sebenarnya. Silahkan cek disini
BalasHapushttp://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=wqy
شكرا كصيرا
Hapus1. Saya tidak menemukan makna وقي baik dalam kamus maupun google. Kalaupun ada, maka makna وقي lebih dekat diartikan waktu. Ini jika kita berbicara KATA DASAR. Jelas lebih jauh lagi dari makna TAQWA.
2. Lain lagi kalau berbicara shorof (صرف) / Tashrif (تصريف). Saya sudah jungkir balik mencari WAZAN untuk kata-kata sifat seperti:
كبير menjadi تكبير
حميد menjadi تحميد dsb
Begitu juga dengan shorof (صرف) / Tashrif (تصريف)
Tak seorang pun yang mencantumkan wazannya.
MAKANYA:
Saya meyakini bahwa TAQWA (تقوي) sejatinya adalah kata sifat QAWIYU (قوي) yang mendapat tambahan huruf Ta (ت) MENGIKUTI WAZAN TAKBIR, TAHMID, TAHLIL, dsb.