Selasa, 01 Februari 2011

TERLAHIR SEBAGAI KORUPTOR (1)*

Oleh : Ashari Thamrin M, SS

Karakter adalah watak, sifat, atau ciri khas seseorang atau suatu bangsa. Karakter seseorang atau suatu bangsa merupakan akumulasi dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.
”Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan. (Aristoteles). Karakter kita pada dasarnya adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan kita. ”Taburlah gagasan, tuailah perbuatan.; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; taburlah karakter, tuailah takdir.”
Kutipan di atas dapat dijumpai dalam buku 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif karya Stephen R. Covey. Rumusan tentang kecenderungan dan kebiasaan itu dikutip dari Aristoteles dan juga dari sebuah pepatah. Takdir, -menurut kutipan diatas, diterjemahkan sebagai atrribut atau predikat atau gelar yang disematkan kepada seseorang atau suatu bangsa sebagai akumulasi dari karakternya. Dan karakternya itu merupakan akumulasi dari kebiasaannya. Pepatah kita : ”Ala bisa karena biasa”.
Seseorang diberi gelar sebagai pemenang (winner) karena akumulasi dari kemenangan-kemenangannya. Pecundang (looser) adalah gelar bagi orang yang selalu kalah. Peminum karena sering minum miras, perokok karena selalu merokok, pemadat karena kecanduan narkoba, pelacur karena acapkali melacurkan diri, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan atrribut koruptor? Apakah itu juga sebuah akumulasi kebiasaan? Koruptor adalah bahasa lain dari pencuri. Sama saja dengan beberapa attribut di atas yang merupakan kata kerja yang mendapat prefix pe-. Sekali pun ada seorang koruptor yang tertangkap dan mengakui baru sekali itu melakukan perbuatannya, namun kita percaya bahwa, itu hanya sekadar pengakuan. Kalau saja tidak tertangkap, ia tentu akan mencari peluang pencurian yang lain.

Koruptor sebagai Takdir?
Kelahiran atau penciptaan seseorang terkait dengan masalah takdir, -salah satu rukun Iman dalam Islam dan juga dalam beberapa agama lain. Permasalahan takdir dalam Islam adalah permasalahan yang rumit dan kompleks. Kalau Anda mengatakan takdir adalah pilihan manusia, Anda akan di cap kafir oleh aliran Jabariyah. Lalu, kalau Anda mengatakan takdir adalah ketentuan Allah dan bukan berdasarkan respon atas pilihan manusia dalam bertindak, maka Anda dianggap sesat oleh penganut aliran Qadariyah.
Aliran Jabariyah menganggap semua mahluk diciptakan satu paket dengan apa yang dikerjakannya. Artinya, kita dan segala perbuatan kita (termasuk perbuatan korupsi) telah ditentukan oleh Allah. Salah satu landasannya adalah :
'Allah lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan'' (QS. as-Shaffat 96);
Maksudnya : Anda yang doyan korupsi, menurut aliran ini, memang telah dilahirkan sebagai koruptor. Anda memang sudah dicetak dari ’sono’nya sebagai koruptor. Anda tinggal memainkan peranan Anda itu, sekaligus juga menerima konsekuensinya, baik di dunia (kalau tertangkap dan terbukti), lebih-lebih lagi di akhirat kelak. Naudzubillah!!
Aliran Qadariyah tidak setuju dengan penafsiran seperti di atas. Mereka mempertanyakan keadilan Allah apabila ketentuan Takdir dimaknai seperti yang di jabarkan si Jabariyah di atas. Landasan mereka adalah :
''Siapa yang menginginkan (beriman) berimanlah, siapa yang ingin (kafir) kafirlah'' (al-Kahfi ayat 29); ''Kami tidak menganiaya manusia sedikit pun. Tetapi manusia lah yang menganiaya diri mereka sendiri'' (Yunus ayat 44).
Titik singgung antara Jabariyah dan Qadariyah memuncak pada 2 ayat berikut ini :
“... Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Rad : 11.)
”Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). (Ar-Rad : 39)
Allah dapat mengubah keadaan suatu kaum apabila kaum itu mau mengubah keadaannya, itulah dalil penganut aliran Qadariah. Tapi, pada bagian akhir ayat Ar-Rad 11, ada kata-kata : ”apabila Allah menghendaki”. Begitu juga pada Ar-Rad 39, ada kata-kata tersebut. Inilah yang menjadi landasan ideologi Jabariyah.
Kalau begitu, bagaimana kita menyikapi kedua paham penafsiran ini? Kita lihat dulu apa yang menjadi kehendak Allah pada akhir Surah Ar-Rad ayat 11 di atas? Mari kita kutip kembali : ”Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Logika bahasa ayat di atas menyiratkan sebuah kondisi. Ada kata “apabila”. Kalimat apabila Allah menghendaki keburukan, -secara semantis, setara maknanya dengan Allah tidak menghendaki keburukan. Atau sama maknanya dengan ”Allah menghendaki kebaikan” kepada hambanya". Anda mau bukti? Hapuslah kata apabila pada kalimat itu, maka akan menjadi ”Allah menghendaki keburukan”. Oh ya? Kalimat terakhir ini jelas bertentangan dengan Asmaul Husna. Tidak mungkin!! Ini sifat mustahil bagi Allah.

Mutasi Perilaku
Jadi, pada dasarnya Allah tidak pernah menghendaki keburukan kepada seseorang. Allah tidak pernah menghendaki seseorang menjadi koruptor. Kalau pun Anda saat ini berpredikat sebagai koruptor, -ketahuan atau tidak, tertangkap atau belum, maka hendaknya kembalikan kepada diri Anda masing-masing. Itu bukan dari Allah. Itu adalah pilihan hidup Anda. Jika watak korup itu ditetapkan oleh Allah sebagai takdir Anda, itu karena Anda menyukainya, berikut menyukai konsekuensinya.
Karakter atau watak korupsi yang Anda (para koruptor) miliki saat ini, adalah ekspresi dari gagasan Anda yang serakah, tamak dan ingin kaya mendadak, ingin populer, dan sejumlah keinginan duniawi lainnya. Gagasan itu mencari jalan untuk pemenuhannya dengan cara tersendiri. Sayangnya, kalau mau jujur, tidak ada cara untuk kaya raya, -dengan berbagai takarannya, dalam dunia birokrat. Yang ada hanya cara untuk kaya raya secara ”tidak elegan” (tidak terpuji).
Sistem birokrasi dan pengawasan keuangan negara yang buruk, serta gampang dimanipulasi, memuluskan gagasan Anda untuk beraksi. Sekali, dua kali, tidak terbukti, akhirnya mau lagi. Anak dan istri/suami yang menjadi sumber motivasi, ternyata juga tidak punya ”filter”, bahkan ikut senang ketika ’pahlawannya’ dapat banyak uang.
Maka jadilah uang haram itu darah dan daging Anda, darah daging anak dan istri/ suami Anda. Terekam dalam DNA Biologis dan DNA Perilaku Anda, DNA Anak Anda dan DNA istri/suami Anda.
Jika Anda tidak segera melakukan ”mutasi perilaku”, Anda akan terjebak dengan kebiasaan-kebiasaan korup. Anda akan segera menjadi pribadi-pribadi yang lebih suka dengan hal-hal yang haram ketimbang hal-hal yang halal. Itulah dampak dari uang haram yang Anda telah makan bersama keluarga Anda. Barang itu akan mengalir ke seluruh tubuh Anda dan juga ke segenap panca indera Anda. Barang itu akan membutakan matahati Anda sehingga Anda hanya akan terpesona dengan hal-hal yang haram. Anda tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang salah. Mana yang halal dan mana yang haram. ”Kaluku, kaliki, na kalekei maneng.”
Sedikit barang haram yang telah Anda masukkan ke dalam tubuh Anda itu, menjadi candu dan membuat anda ketagihan untuk terus menerus melakukan dan mengulangi kebiasaan-kebiasaan itu. Itulah yang akan menjadi Karakter Anda. Itu pula yang berujung pada takdir Anda, baik takdir yang di Maksud oleh Stephen R. Covey sebagai artribut atau gelar atau predikat, maupun takdir yang sesungguhnya dari Allah swt, sebagai Koruptor yang su’ul khatimah, yakni terlahir dan mati sebagai koruptor. Naudzubillah!
Allah swt. Maha Adil. Kendati takdir itu telah dituliskan, Dia tetap memberi peluang kepada seluruh hambanya untuk merubah takdir masing-masing. Catatan (Lauh Mahfudz) itu ternyata dapat saja berubah, dapat dihapus dan ditetapkan. Bahasa kita, dapat direview atau ditinjau ulang. Yang berwenang menghapus dan menetapkan catatan itu adalah Dzat Yang Maha Penentu, Sang Penulis Kitab Takdir.
Untuk mengubah Takdir, Rasulullah memberi syarat : Beramallah! Syarat lain, berdo’alah! Rasulullah bersabda : ”Tiada sesuatu yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tiada yang dapat menambah umur kecuali amal kebajikan.... (HR. Tirmidzi dan Al Hakim).
Hanya perlu diingat bahwa penulisan ulang catatan itu hanya mungkin dilakukan jikalau orang yang bersangkutan benar-benar ingin merubah sikap dan perilakunya. Dan yang lebih penting lagi, yang bersangkutan belum dijemput oleh maut. Sebab, jangankan orang yang telah mati, orang sekarat saja sudah tidak mampu beramal, apalagi melakukan mutasi perilaku. Wallahu ’alam bisshawaab!! (bersambung).
=====================
*) Opini ini dimuat di Harian Suara Sawerigading pada 30 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar