Selasa, 01 Februari 2011

MENGGUGAT RITUAL SHALAT *

Oleh" Ashari Thamrin M

“Ngapain juga ummatnya Muhammad cape-cape nungging-nungging 5 kali sehari semalam? Lebih enak tidur. Tidur itu lebih baik dari pada Shalaaaaaaaaaaaaaaat. Capek deeeeh………” Begitulah anggapan teman diskusi saya di Internet yang beragama nasrani menanggapi ritual Ibadah Shalat dalam agama Islam.
Awalnya, saya hanya iseng mempertanyakan ritual agama mereka yang menurut pandangan saya sangat minim, Cuma do’a dan nyanyi. Wuih, enak banget. Tak disangka, justru saya yang kena serangan balik.
Menanggapi ucapannya di atas itu, Saya pun tak mau kalah. Saya pun berlagak Bak Ulama besar, mencoba menjelaskan tujuan ritual shalat dalam Islam dengan merujuk pada Surah Al-Ankabuut (29). Terjemahannya sebagai berikut:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
“Apaaaaa…..? Mencegah keji dan mungkar? Emangnya kamu pikun dengan Abdullah Pute, Yahya Zaini, Al-Amin, dll. Tunggu ya…., aku kirim ke emailmu daftar orang-orang yang shalat terlibat Korupsi, Narkoba, Sex Bebas,” tanggap teman diskusi saya yang nasrani itu.
Mendapat tanggapan itu, Saya Knock Out (K.O), terkapar lemas, lunglai dan tak berdaya. Saya lari dari diskusi dengan membawa sejuta rasa malu. Saya bisa saja berdiri kembali dan menyerang balik dengan mengungkap data-data penyimpangan ummat mereka yang daftarnya jauh lebih pendek, tapi apa gunanya? Lagi pula, tujuan diskusi bukan untuk mencari pembenaran dan kemenangan, tapi untuk mencari kebenaran.

Shalatnya Nabi
Bagaimanakah sejatinya cara Nabi shalat? Jika pertanyaan itu di ajukan kepada para ulama, maka jawaban otomatisnya merujuk kepada sebuah hadits : “Shalluu kamaa ra-aitumuuni ushallii. Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat Aku (Nabi) shalat.”
Namun di sinilah persoalannya. Bagaimana bisa kita melihat cara nabi melakukan shalat sementara beliau telah wafat 14 abad silam? Satu-satunya jalan mengenali cara itu adalah melalui pewarisnya : ULAMA. Tapi lagi-lagi sederet pertanyaan menggema: Apa benar cara nabi melakukan shalat telah sesuai yang diajarkan ulama? Apa benar cara nabi melakukan shalat telah sesuai dengan yang kita lakukan selama ini? Jika ya, lalu kenapa kekejian dan kemungkaran makin merajalela? Ataukah Shalat itu juga telah mengalami pergeseran makna menjadi sekadar ritual olah tubuh, nungging-nungging dan sekadar CCA (cuap-cuap aja), sehingga tidak lagi meninggalkan bekas pada praktek kehidupan keseharian kita? Kita patut meminta pertanggungjawaban dari para ulama.
Cara Shalat ummat saat ini yang dicontohkan para ulama Efeknya jelas berbeda dengan zaman Nabi. Cara Shalat kita tidak lagi efektif, karena kebanyakan kita tidak lagi mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Cara shalat yang memaksa pemerintah mendirikan BNK, KPK, dan sejumlah lembaga-lembaga sejenis untuk mencegah perbuatan yang keji dan mungkar. Cara Shalat yang telah membuat ummat lupa dan pikun membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kelihatannya hanya sepele, namun kadang, justru hal yang sepele itulah yang menyebabkan orang celaka. Mengantuk termasuk hal yang sepele, namun mengantuk saat mengemudikan kendaraan dapat berakibat fatal. Lho, apa hubungannya shalat dengan mengantuk saat mengemudi? Oh ya, mohon ma’af kalau tidak connect!

Kiprah Ulama
Masalah ini mungkin timbul akibat dari pemahaman kita terhadap sesuatu yang hanya menyentuh kulit luarnya saja. Para ulama harus mengakui, bahwa mereka tidak pernah memberi contoh kongkrit bagaimana melakukan shalat secara esensial, atau menyentuh pada subtansi, atau isi, atau hakekat shalat itu. Semua sebatas seremonial belaka. Para ulama asyik menikmati hakekat ilmu shalatnya sendiri, tanpa ada rasa tanggung jawab untuk berbagi ilmu kepada ummat. Mungkin juga ada pikiran, bahwa surga tidak cukup luas untuk menampung semua ummat, sehingga para ulama memutuskan untuk tidak berbagi ilmu shalat yang benar itu. Mungkin juga sebagai wujud seleksi calon penghuni surga, bahwa surga hanya untuk para ulama, keluarga ulama beserta seluruh klannya.
Ya…, kita para ummat hanya dapat berandai-andai sembari berburuk sangka, itupun karena para ulama tidak pernah memberi contoh kongkrit bagaimana hakikat menghindari kebiasaan buruk berandai-andai dan kebiasaan buruk berburuk sangka. Semua petuah dari ulama kita tentang hal tersebut hanya sebatas verbal belaka. Jujur saja, ummat saat ini justru sangat primitif dengan keteladanan dari oknum-oknum yang berada pada lembaga pemerintahan dan non pemerintahan yang mengusung tema akhlak, etika dan moral sebagai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kegiatannya.
“Siapa diri anda sejatinya, begitu nyaring terdengar ditelinga saya, sehingga saya tidak dapat mendengar apa yang anda ucapkan.” (Emerson)
Kalimat di atas hanyalah sepenggal kalimat dari anak kemarin sore yang tidak pernah mengenal Islam, bila di banding kalimat di bawah ini:
QS.Ash-Shaf (3) : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
Semoga saja Momen MTQ di Kota Belopa saat ini dapat menjadi titik awal perbaikan ibadah shalat kita. Ummat sudah jenuh dengan pesan-pesan moral yang serba verbalistik. Butuh lebih dari itu untuk memperbaiki kondisi ummat yang sedang carut marut bagai benang kusut, tak tahu lagi mana ujung dan mana pangkalnya. Mungkin saja, dengan merehabilitasi cara shalat kita, benang kusut itu dapat terurai satu persatu.
PAK USTADZ, AJARILAH KAMI CARA SHALAT YANG HAKIKI, AGAR KAMI TIDAK LAGI BERBUAT KEJI DAN MUNGKAR. Amin, yaaa rabbal alamin.

=============
Opini ini dimuat di Harian SUara Sawerigading pada tahun 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar