Oleh : Ashari Thamrin M
“Kasitau (Beritahu-pen) semua orangtuamu di Palopo, supaya belajar kembali ke alam, sebelum benar-benar kembali ke alam.” Begitu pesan (alm) MD. Djampu kepada saya di Mesjid Puncak Indah Malili, 2 tahun lebih sebelum beliau wafat. “Iya, Pak Uztad,” jawab saya ketika itu disertai anggukan tanda setuju. Kalau saja sesama jema’ah shalat dluhur tidak memberitahu bahwa beliau adalah mantan Bupati Kab. Luwu (Lama), maka tidak pernah terbersit di benak saya bahwa yang menitip pesan itu adalah Beliau.
Setelah sekian lama beliau turun tahta, Saya benar-benar samar dengan raut wajahnya. Ketika beliau Bupati, saya masih sekolah di sebuah SMA. Pertemuan saya dengan beliau di Mesjid itu pun hanya kebetulan. Ketika itu, waktu shalat Dhuhur telah tiba, dan saya mampir ke mesjid itu untuk menunaikan shalat. Usai shalat berjama’ah, beliau menyapa saya :
”Dari mana dan mau ke mana nak” ? tanyanya di dalam Mesjid. “Saya dari Sorowako Pak Uztad dan mau kembali ke Palopo,” jawab saya. Beliau mengangguk-angguk sembari menyunggingkan sebuah senyum. Sesaat kemudian, meluncurlah pesan beliau di atas itu.
Apa makna pesan itu? Entahlah. Saya pun tidak pernah ambil pusing untuk memikirkannya. Mungkin karena pesan itu sudah terlambat dan mubazzir bagi pribadi saya, karena kedua orangtua saya sudah meninggal jauh sebelum Pak Djampu menitipkan pesan itu. Namun entah mengapa, ketika semalam saya membaca koran Suwer tentang aktifitas kampanye di Kota Palopo, disertai dengan foto-foto para kandidat kita yang lagi berkampanye, tiba-tiba saja raut wajah beliau beserta pesan beliau itu muncul kembali.
Pikiran saya menjadi iseng, mencoba membandingkan wajah para kandidat kita dengan raut wajah Pak Djampu yang membayang di wajah saya. Nampaknya, memang jauh berbeda. Kelihatannya Pak Djampu memang lebih tua ketimbang mereka. Terlihat dari semua rambut yang tumbuh di bagian kepala beliau, semuanya sudah memutih. Sama putihnya dengan gamis yang membungkus seluruh tubuhnya. Wajahnya pun kelihatan pucat pasi.
Kata seorang jama’ah di situ, beliau memang tidak pernah menghitami rambutnya dengan semir. Beliau sengaja membiarkan rambutnya memutih seperti itu, untuk menjadi peringatan bagi pribadinya bahwa tidak lama lagi ia dipanggil menghadap oleh Allah dan menyatu dengan tanah. Wajahnya menjadi pucat pasi karena tiap malam beliau tidak pernah melalaikan shalat tahajjud.
Yang membuat saya terperanjat adalah ketika membandingkan umur Pak Djampu saat wafatnya, dengan umur para kandidat kita saat ini melalui biografi singkat masing-masing kandidat. Nampaknya tidak beda-beda amat. Dari segi umur, Pak Djampu memang lebih tua sedikit dibanding kandidat kita. Tapi para kandidat kita terlihat lebih awet muda ketimbang Pak Djampu. Apa resepnya? Entahlah.
Penyakit Cinta Dunia
Ada banyak pilihan kegiatan bagi pejabat, PNS, dan Pegawai swasta memasuki masa purna bakti (pensiun) dan mengisi sisa hidup menjelang maut menjemput. Ada yang membangun bisnis, ada yang menjadi eksekutif atau legislatif, ada yang berkebun, mendirikan mushalla dan pondok di sekitar kebun dan membimbing pekebunnya dengan berbagai ilmu. Tapi, ada juga yang bingung mencari kegiatan, kemudian memperpanjang masa bakti dengan cara turun level ke jabatan yang lebih rendah.
Bagi kebanyakan orang yang mulai sekuler, pilihan hidup mengisi masa pensiun seperti yang dijalani (alm) MD. Djampu, bukanlah pilihan yang populer. Namun bagi orang yang meyakini adanya hidup setelah mati, sesuai yang dilansir QS.Al-Baqarah ayat 4, pilihan seperti itu justru merupakan smart choice, atau pilihan yang cerdas.
Seorang khatib shalat jum’at memberi pencerahan sebagai berikut. Ia mengutip sebuah hadits, bahwa umur umat manusia setelah Nabi, tidak jauh dari umur Nabi, 63 tahun. Kalau lebih dari itu, artinya itu adalah bonus dari Allah, atau pemberian kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melakukan pertobatan atas segala noda dan dosa-dosanya. Karena itu, seseorang yang mendekati usia 63 tahun agar berhati-hati. Dalam usia seperti itu, kata sang khatib, hendaknya seseorang sesering mungkin menggali-gali tanah, agar orang tersebut berbau tanah dan saat mati nanti, tanah sudah mengenalinya.
Kata sang khatib lagi, orang yang telah berumur 60-an agar mengurangi aktivitas duniawi, karena memforsir kegitan duniawi untuk orang-orang yang telah berumur seperti itu, dapat menjerumuskannya pada penyakit wahan, atau penyakit cinta dunia dan takut mati. Ia kemudian mengutip Surah At-Takatsur, dan menguraikan bahwa Mati dalam visi dan misi mengejar kemewahan dunia, ancamannya sangat jelas, yakni neraka jahim (jahannam). Naudzu billahi min Dzalik. (end).
================
*) Opini ini dimuat di Harian Suara Sawerigading pada bulan April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar