Oleh : Ashari Thamrin M
Setiap orang ingin sukses, tapi tidak setiap orang dapat meraih sukses. Semua orang dapat merancang kesuksesannya, melaksanakan cetak biru kesuksesannya, namun tidak semua orang dapat meraih kesuksesannya.
Para ilmuwan dan peneliti pun tidak tinggal diam. Mereka berlomba-lomba memberi rumusan dan konsep kesuksesan. Ada yang membawa kunci sukses, ada yang memakai Prinsip Efektif, ada DNA Perilaku, ada Sikap Mental Positif (SMP), dan ada juga yang memakai ESQ. Eeee…, adalagi. Berpikir Positif, Ada juga Berpikir dan Menjadi Kaya. Iyya…, banyak juga buku-buku berpikir lainnya (asal jangan piktor…., hehehe). Orang-orang yang membacanya telah ada yang berhasil. Tapi justru lebih banyak yang gagal.
Begitu banyak orang yang telah bekerja keras dan bekerja cerdas untuk meraih sukses, menerapkan segala macam teori-teori kesuksesan. Membacanya berulang-ulang. Menjadikan buku itu kitab suci. Mempraktekkannya tiap hari. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Namun, sekian lama mereka melakukan itu, mereka akhirnya frustasi, sukses tak kunjung datang.
Ironisnya, beberapa orang yang tidak pernah membaca buku sukses, bekerja ala kadarnya, kepala tetap jadi kepala, kaki tetap jadi kaki, eee...., justru mereka meraih sukses. Mereka berkali-kali naik Haji atas biaya sendiri, bukan dari dana APBD.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa beberapa hal yang tidak tercatat di atas kertas atau cetak biru atau perencanaan, terjadi dalam kenyataan?
Cetak Biru
Euro 2008 lalu diprediksi menjadi milik Portugal. Data statistik kekuatan mereka, menurut pengamat, tiada banding. Cetak biru penobatan Cristiano Ronaldo sebagai pemain besar pun telah disiapkan. Ia dianggap setara dengan Gullit, Van Basten, Michael Platini. Hanya satu syarat yang belum dipenuhi, memberi gelar juara untuk negaranya. Ajang Euro 2008 lalu digadang-gadang sebagai momennya. Apa yang terjadi? Eee..., Portugal keoq dari Jerman di perdelapan final. Kemudian pengamat pun beralih ke Jerman. Eee..., Jerman pun keoq dari Spanyol di Final. Lagi-lagi cetak biru berantakan!!
Lain lagi kisah PNS Pengusaha. Ia mau bikin rumah kost untuk mahasiswa. Cetak biru telah rampung. Pinjaman bank telah cair. Keuntungan sudah direka-reka. Eee..., pembangunan macet. Kos-kosan yang akan menampung 20-an nahasiswa itu kandas di awal realisasi. Efek domino (efek berantai) kenaikan barang dan jasa akibat kenaikan BBM mementahkannya. Biaya semula Rp. 440 juta, tidak cukup. Penawar tender terendah Rp. 650 juta. Selisih Rp. 210 juta.
Bingung, bangunan tidak jadi-jadi, tagihan bank setiap bulan harus dibayar. Rencana awal, pembayaran modal dan bunga bank akan diraup dari pembayaran kost para mahasiswa. Tapi, bagaimana mau meraup untung kalau bangunan saja belum jadi-jadi? Siapa lagi yang mau kasi pinjaman? Apalagi yang harus digadaikan? Cetak biru pun kacau balau!
Untungnya PNS-Pengusaha dapat ide. Ia mengurangi pembangunan kamar kost dari 20 menjadi 12. Ide itu di pungut di pasar tradisional, lantaran melihat tukang becak mau beli terasi 20 bungkus, tapi uangnya hanya cukup untuk 12 bungkus. (hehehe..., ketawa).
Perampok Aqidah
Kejadian-kejadian yang menyalahi prediksi, perencanaan, cetak biru sering bikin pusing siapa saja, termasuk penulis-penulis buku sukses. Faktor Lucky atau keberuntungan adalah bahasa yang paling sering digunakan untuk kejadian-kejadian itu. Orang dibilang beruntung kalau menjuarai turnamen, atau dapat jabatan, atau meraih untung besar, di mana kejadian-kejadian itu nyata-nyata menyalahi perhitungan di atas kertas. Orang dikatakan sial bila terjadi sebaliknya.
Kacamata Prinsip Pareto mengatakan lebih kurang 80% HASIL berasal dari 20% (atau kurang) PENYEBAB. Prinsip ini dikenal dengan Prinsip 80/20. Rumus ini lagi-lagi dicontek oleh Stephen R. Covey dengan mempopulerkan Prinsip 90/10. Prinsip ini mengatakan bahwa 10% dari hidup kita ditentukan oleh apa yang terjadi dan 90% ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi terhadap kejadian-kejadian itu. (Buku : Becoming a Magnet of Luck)
Maksudnya, kita tidak bisa mengontrol 10% dari apa yang terjadi kepada kita. Kita tidak bisa mengontrol kemacetan di jalan raya. Kita tidak bisa mengontrol bila pesawat yang kita tumpangi ternyata delay. Kita juga tidak bisa mengontrol harga minyak dunia yang terus melambung. Tapi 90% sisanya Anda bisa mengendalikannya. Kata Covey, semua bisa dilakukan melalui reaksi atau respon yang Anda pilih. OH YAAAA…???
Sekarang pertanyaannya : siapa yang mengontrol 10 hal yang tidak terkontrol itu, sebagaimana manusia dapat mengontrol yang 90 hal lainnya? Bagaimana pula dengan cerita Portugal, kisah PNS-Pengusaha di atas yang masuk dalam daftar in of control menurut Covey, tapi kenyataannya out of control? Pertanyaan-pertanyaan lain pun –jika dideret-- mungkin akan lebih panjang lagi ketimbang jawaban yang akan diberi Covey.
Harus diakui, bahwa buku-buku sukses memang dapat memberi inspirasi dan kekuatan psikologis tersendiri bagi setiap pembacanya. Buku-buku tersebut mengajarkan beberapa sikap yang benar dan layak untuk dipraktekkan dalam kehidupan keseharian. Sayangnya, muatan buku sukses terkadang bersifat arogan dan menyesatkan. Bahkan banyak yang kebablasan. Kenapa? Kebanyakan buku sukses ‘mempertuhankan’ potensi manusia yang –kata para penulisnya- tidak terbatas. Manusia dapat berbuat apa saja, memilih apa saja, bahkan menentukan apa saja, sesuai kehendaknya.
Dampak lainnya adalah penyesatan. Kebanyakan orang yang telah membaca buku sukses menjadi pribadi-pribadi yang over confidence (kelewat pede), merasa diri lebih layak untuk menjadi apa saja ketimbang orang lain. Merasa diri pantas untuk mencalonkan diri sebagai kepala ini dan kepala itu, padahal kompetensinya masih seujung kuku. Sedikitpun tidak pernah mengevaluasi diri.
Mereka ”mempertuhankan diri”. Menganggap diri paling berjasa. Bahwa tidak terjadi apa-apa kalau bukan karena dirinya. Tidak tercapai apa pun kalau bukan andilnya. Gara-gara dirinya, sehingga orang bisa begini dan bisa begitu. Itulah isi benak mereka. ”Puji ale” adalah sebuah kata dari bahasa kita yang sangat mewakili sikap mempertuhankan diri yang terkutuk itu.
Anda yang memiliki buku-buku sukses, sebelum Anda tersesat dan frustrasi, sebaiknya teliti kembali buku-buku itu dan konfrontasikan dengan aqidah yang diajarkan agama Anda!!
Mirip Qadariyah
Kalau Anda punya waktu membaca paham penafsiran Qadariyah, Anda akan terkejut. Apa yang diajarkan oleh para pakar pengembangan diri dalam berbagai bukunya itu sama dengan yang diajarkan aliran qadariyah dalam Islam. Penafsiran Qadariyah bukannya salah, tapi kurang. Kekurangannya adalah terabaikannya sifat tawaqqal. Sama juga yang diajarkan para pakar pengembangan diri.
Mentang-mentang Allah berkehendak menghapus dan menetapkan (mereview) Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh), para Qadarian menyusun rencana seapik mungkin, mengerjakannya serapi meungkin. Sama sekali tanpa cela. Best Performance!!
Begitu masuk tahap final, apa yang mereka rencanakan dan kerjakan, eee..., hasilnya tidak seperti apa yang mereka inginkan. Mereka frustrasi, stress. Allah di maki-maki, dikambinghitamkan. Mereka menagih Allah, menggugat Allah, karena --menurut mereka-- Allah tidak adil, tidak membalas kebaikan dan pengorbanan mereka. Mereka pun berjanji tidak mau menyembah Allah sebelum mengabulkan cetak birunya. Sama gayanya si Joko Tingkir di Jawa sana.
Begitulah tipikal aliran Qadariyah yang banyak diserap para pakar pengembangan diri dari barat. Mereka tidak sadar, apapun hasil dari sebuah rencana yang matang sekalipun, meski itu berbeda dengan apa yang diharapkan, itulah yang terbaik buat kita. Kalau rencana Anda tidak sesuai harapan, Andalah yang harus mereview cetak biru Anda. Jangan Anda yang mendikte Allah untuk merevisi Lauh Mahfuzh.
Minimnya buku sukses mengajarkan arti tawakkal, menjadi penyebab banyaknya pembaca buku-buku itu frustrasi. Kemana mencari jawaban apabila sukses tidak juga diraih? Apalagi yang harus dilakukan bila semua saran telah lakoni, tapi sukses tidak juga menghampiri?
Hakekatnya, manusia hanya merancang cetak birunya masing-masing, dan berusaha mewujudkan cetak biru dalam kenyataan. Namun Sang Penentu Takdir memiliki cetak biru tersendiri (Lauh Mahfudz). Ia memiliki kehendak tersendiri yang kadang berseberangan dengan kehendak kita. Itu Hak Prerogatif Allah.
Jika kehendak dan cetak biru Anda sesuai dengan kehendak dan cetak biru Penentu Takdir, atau rencana Anda terwujud, itu belum tentu juga Anda beruntung atau sukses. Bisa jadi itu hanyalah suatu ujian yang dapat menggelincirkan. Kalau kehendak kita berseberangan dengan kehendak yang maha penentu, jangan langsung mengkambing hitamkan Allah. Sebab apapun yang terjadi, semua itu adalah ujian. Sukses menggolkan cetak biru adalah ujian. Gagal menggolkan cetak biru, juga sebuah ujian. Semua itu karena “Allah hanya menghendaki Kebaikan kepada hambanya”. (Tafsir Ar-Rad ayat 11, opini Suwer, 30/06/2008).
Makanya, jangan heran jika Anda berupaya sekuat tenaga untuk tidak lagi punya anak, sudah pake berbagai jenis kontrasepsilah, Eee..., tau-tau kondom bocor (hehehe..., ketawa). Percayalah..., Allah menghendaki seorang lagi hadir di planet ini untuk menjadi ujian bagi Anda. Luluskah Anda, atau gagalkah Anda? Tergantung jawaban Anda saat ujian. (berharap aja dapat sms-an, hehehe...., ketawa lagi).
Jadi, apa pun yang terjadi, sukses atau gagal, dapat jabatan atau tidak, juara atau runner up, serta baik atau buruk yang menimpa kita, menang pilkada atau kalah, semua itu ketentuan dari sang Penentu.. Dan semua Takdir (Ketentuan) adalah ujian. Tidak perlu kuatir tentang itu. Tidak perlu mencak-mencak, atau berpikir yang tidak-tidak. Jalani saja apa adanya. Yang penting Anda tetap melakukan perbuatan yang Ma’ruf.
Q.S. Al-Baqarah 216 : ”... boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Pepatah lama mengatakan: ”manusia merencana Tuhan yang menentukan”, rupanya akan terus bertahan hingga akhir zaman. Ia akan terus memangsa korban bagi siapa saja yang mau menepikannya. (Wallahu ’alam bisshawab).
=========
*) Opini Harian Suara Sawerigading, tahun 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar