Oleh: Ashari Thamrin
Kebijakan pemerintah memberi sertifikasi pendidik beserta tunjangannya kepada para guru patut diacungi jempol. Sayangnya, pemberian sertifikasi itu kesannya terburu-buru.
Penilaian kompetensi atas dasar setumpuk berkas portofolio, dan bukannya berdasarkan bukti seberapa besar andil guru-guru itu menjadi agen pembelajaran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah kurang tepat. Buntutnya akan bermuara pada bertambahnya beban negara serta terkurasnya APBN kita. Karena itu, kebijakan ini perlu ditinjau kembali (direview), bukan pada tataran kebijakannya, melainkan pada pemenuhan persyaratan yang digunakan sebagai tolok untuk memberi sertifikat itu.
Mari kita lihat latar belakang dari pemberian sertifikat itu. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan guru adalah pendidik profesional. Untuk itu, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana atau diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Sebagian besar guru memang telah memenuhi kualifikasi akademik, namun menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran? Tunggu dulu! Apa tolok ukurnya? Kompetensi sebagai agen pembelajaran yang disyaratkan meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Bagaimana mengukur ke empat jenis kompetensi ini hanya dengan memeriksa setumpuk kertas portofolio?
Kompetensi sebagai agen atau penyalur pembelajaran sangat rancu bila diterjemahkan dengan setumpuk kertas portofolio sang guru. Makna agen atau penyalur yang kita pahami bersama adalah pendistribusi, atau pemindah barang atau jasa dari agen atau distributor kepada konsumen, atau dari subjek kepada objek. Nah, guru sebagai agen pembelajaran dituntut mampu untuk menyalurkan ilmu (transfer of knowledge) kepada objek atau konsumen pembelajaran, dalam hal ini para murid, siswa dan mahasiswa.
Untuk mengecek secara objektif suatu produk atau barang telah berhasil disalurkan atau tidak oleh seorang agen ke tempat tujuan, yang ditanyai tentunya bukannya si agen, tapi si penerima barang.
Illustrasi serupa dapat juga dikenakan kepada guru yang telanjur menggunakan istilah agen pembelajaran. Untuk mengecek secara objektif suatu pelajaran telah berhasil disalurkan atau tidak oleh seorang guru kepada peserta didiknya, tentu yang ditanyai bukan si guru, tapi si penerima pembelajaran (murid, siswa atau mahasiswa).
Kita semua pernah belajar di sekolah dan diajar oleh guru-guru kita. Di antara sekian banyak guru-guru itu, kita juga tahu siapa-siapa saja di antara mereka yang benar-benar mampu membuat kita mengerti terhadap mata pelajaran yang diajarkannya, dan siapa-siapa saja yang tidak mampu. Jelas tidak etis jika penulis sebutkan satu persatu nama-nama guru yang pernah mengajar penulis, dan justru tidak membuat penulis mengerti pelajaran yang mereka ajarkan. Kalau saja hanya penulis yang merasakannya, tentu hal ini menjadi subjektif. Tapi ternyata tidak. Dalam setiap kelas yang mereka ajar, semua siswa mengeluh, Tidak Mengerti Pak Guru!
Dapatkah guru-guru yang masuk dalam spesis ini dikatakan sebagai agen pembelajaran dan dianggap telah mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga layak diberi sertifikat pendidik beserta tunjangannya? Benarkah mereka telah berjasa mencerdaskan kehidupan bangsa, ataukah sebaliknya, mereka justru berjasa membuang-buang waktu dan energi para siswa serta membuang-buang dana pemerintah sehingga mutu pendidikan kita sekarang ini terpuruk hingga mencapai urutan 200 sekian dalam daftar dunia internasional?
Karena itu, sebelum lanjut memberi sertifikat dan tunjangan, patut dibuktikan lebih dahulu apakah guru-guru itu benar-benar mampu mencerdaskan kehidupan bangsa atau tidak. Untuk membuktikannya, pemerintah (panitia sertifikasi) harus melakukan sebuah proper tes. Bedanya, proper tes kali ini bukan dilakukan kepada guru yang bersangkutan, melainkan kepada siswa yang diajarnya. Indikatornya adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecerdasan para siswa yang dibentuk oleh sang guru untuk mata pelajaran yang diajarkannya? Mengertikah mereka, atau pahamkah para siswa yang diajarnya itu terhadap mata pelajaran yang diajarkannya? Jika jawaban atas pertanyaan itu Ya, barulah guru itu diberi sertifikat. Jika Tidak, tunda dulu pemberian sertifikat, termasuk kepada guru senior (dalam segi umur), hingga guru-guru yang bersangkutan benar-benar kompeten untuk mengajar di bidangnya.
Harap dipahami bahwa kecerdasan seorang guru dan transfer kecerdasan merupakan dua hal berbeda. Ada jenis guru yang tingkat kecerdasannya tinggi, namun mereka tidak mampu membagi (mentransfer) kecerdasan itu kepada peserta didiknya. Sebaliknya, ada juga jenis guru yang mampu membagi pengetahuan kepada para siswa-siswinya, meskipun tingkat kecerdasannya biasa-biasa saja. Jika harus memilih, yang dibutuhkan adalah guru yang mampu membagi pengetahuannya kepada para siswanya, meskipun tingkat kecerdasannya biasa-biasa saja. Dan jika tidak harus memilih, tentulah bangsa ini sangat menginginkan guru dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, baik untuk dirinya sendiri mau pun dalam rangka mentransfer kecerdasannya itu kepada siswa-siswinya. Guru seperti inilah yang patut dinomorsatukan untuk pemberian sertifikat.
UAN
Untuk menguji kompetensi guru melalui siswa-siswinya, bukanlah hal yang rumit. Hanya dibutuhkan sebuah rangkap soal mata pelajaran. Soal itu bukan dibuat oleh guru yang bersangkutan, tapi dibuat oleh guru yang kompeten, diujikan kepada siswa-siswi sang guru dan diawasi dengan ketat oleh pengawas yang kompeten, serta diperiksa oleh komputer.
Sebuah pertanyaan iseng: Bagaimana jika para siswa kompak untuk menjatuhkan kompetensi gurunya? Adakah kemungkinan seperti itu? Faktor kemungkinan seperti itu tetap ada. Untuk menghindari hal tersebut, uji kompetensi siswa tidak dipisah dengan uji kompetensi guru. Maksudnya, peserta ujian tetaplah siswa, tetapi hasil rata-rata yang diperoleh komunitas siswa yang mengikuti ujian itu dapat juga dijadikan tolok ukur kompetensi bagi guru yang mengajarinya.
Ujian Akhir Nasional (UAN), selain dijadikan penentuan kelulusan siswa kelas 3 untuk mendapatkan Ijazah/STTB, juga dapat dijadikan uji komptensi untuk guru, khususnya guru kelas 3 SMP/SMU, yang akan diberi sertifikat guru profesional. Contoh UAN Bahasa Inggris. Jika tingkat kelulusan komunitas siswa untuk mata pelajaran bahasa Inggris sebanyak 50 persen plus satu, berarti guru bahasa Inggris yang mengajar komunitas siswa tersebut dapat dinyatakan lulus sertifikasi, dan berhak diberi sertifikat. Sebaliknya, jika hasilnya adalah 50 persen minus satu, tunda dulu pemberian sertifikat kepada si guru bahasa Inggris itu.
Yang kurang dari pelaksanaan UAN adalah hanya ada tiga mata pelajaran yang diujikan, dan dianggap sebagai representasi kelulusan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Makanya Siswa dan Guru pernah melakukan demo, menuntut dihapusnya UAN. Substansi hakiki dari demo penghapusan UAN itu sendiri membawa pesan dan tema yang ironi, yaitu: Mengapa hanya tiga mata pelajaran saja yang diujikan, dan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Mengapa tidak semua pelajaran di UAN kan dan dijadikan penentu kelulusan?
Bagi pemerintah (diknas dan panitia sertifikasi guru), merespon demo tersebut dikaitkan dengan kompetensi guru yang akan diberi sertifikat, dapat menjadi langkah yang efektif dan efisien. Jika semua mata pelajaran di UAN kan, dan dijadikan penentu keklulusan, secara otomatis semua guru juga dipertaruhkan nasibnya apakah ia berhak menerima sertifikat guru profesional beserta tunjangannya atau tidak.
Faktor Penghambat
Usulan seperti ini jelas akan mengundang berbagai reaksi dan kontroversi dari teman-teman guru, terutama dari pihak-pihak yang tinggal sejengkal lagi akan memperoleh tunjangan profesi. Berbagai dalih akan diajukan sebagai alasan pembenaran, termasuk dalih bahwa jika siswa tidak lulus, bukan guru yang bodoh, tapi siswalah yang bodoh. Suasana belajar yang tidak kondusif, jumlah jam pertemuan yang kurang, mungkin juga dapat dijadikan alasan logis terhadap tidak maksimalnya seorang guru menelorkan kompetensinya kepada peserta didiknya.
Keluhan-keluhan seperti ini patut diteliti dengan bijaksana dan seksama dengan melihat kondisi objektifnya. Bukannya serta merta mengatakan gurunya tidak kompeten jika siswa tidak lulus. Sebab, harus diakui bahwa faktor-faktor penghambat proses pembelajaran dan penghambat daya serap siswa (DSS) memang ada. Misalnya kondisi ruang kelas yang bocor dan kemasukan hujan saat datang musim hujan, atau sangat panas saat matahari terik di siang bolong.
Faktor-faktor tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja, juga tidak dapat ditimpakan kepada guru, karena memang hal itu diluar wewenang guru. Begitu juga bahan ajar yang mungkin berbeda (tidak seragam) antara yang diajarkan oleh guru mata pelajaran dengan bahan ajar yang dijadikan soal-soal ujian oleh pembuat soal.
Jika semua faktor penghambat Proses Pembelajaran itu telah dieliminasi, maka tidak ada lagi dalih yang dapat dijadikan alasan pembenaran bagi seorang guru untuk mengingkari dirinya kompeten atau tidak kompeten, yang berujung pada diberi atau tidak dapat diberi sertifikat. Kalau masih ada sekelompok teman guru yang mengingkari cara ini, maka hanya ada satu pertanyaan untuk mereka: Cara apa lagi yang lebih tepat digunakan untuk mengukur tingkat kompetensi kalian dan peserta didik kalian?
==============
*) Opini Tribun Selasa, 19-02-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar